Voila..
Akhirnya blog’ku ada
postingannya juga.. akhirnya.. hahaha..
Gini nih kalo gembel
gaya-gayaan bikin blog, gak keurus.
Wokeh,
Pertama-tama, aku mau
ngucapin Selamat Hari Raya Qurban. Untuk sapi-sapi dan kambing-kambing yang
terpilih saya doakan kalian diterima di sisi-Nya, dan dimasukkan ke surga
bersama sapi-sapi dan kambing-kambing perawan lainnya di sana. Amin.
Kedua, aku harus nulis ini: 2
MINGGU KEMARIN AKU KE UNIVERSITAS INDONESIA! UI SODARA SODARA, UI!!!! BHUAHAHUAHAHAHAHA..
Oke, biasa aja.
Ya, bulan kemarin, tepatnya
tanggal 24-29 Oktober 2011, aku ke UI. Ngapain? Beli martabak. Gak lah. Kemarin
aku ke UI bersama dua temenku bernama Arya dan Dyah untuk mengikuti acara
"Simposium Nasional Bahasa Indonesia". Kita bertiga menjadi semacam delegasi dari
UGM gitu.
Keren kan aku bisa ikut acara
gituan? Padahal, sumpah aku nggak ngerti simposium itu artinya apa. Beneran.
Aku baru tau kemarin di UI kalo simposium itu semacam acara seminar. Maklumlah,
aku yang biasanya di kampus hanya berhubungan sama perpus, perpus, dan perpus,
gak pernah ngerti dunia luar.
Dari Jogja aku berangkat
Senin (24/10) subuh berdua sama Arya. Kalo Dyah nyusul berangkat sendiri. Aku
sama Arya berangkat pake kereta. Sempet ada adegan lari-lari juga di stasiun
Tugu (Jogja) karena kita hampir saja ketinggalan kereta. Btw, taukah Anda
sodara-sodara, ini adalah: PENGALAMAN PERTAMA SAYA NAEK KERETA!!! MHUAHAHAHAHA.
Oke, santai.
Selama 19 tahun aku menghirup
nafas dan kentut, aku belum pernah naek kereta. Kereta api maksudnya. Kalo
kereta kencana a.k.a delman sih pernah. Sekali lagi maklumlah, hidupku tu hanya
tau soal perpus, perpus, dan perpus. Mungkin besok aku juga bakal kawin sama
perpus. Tapi pasti orang tua kita nggak setuju.
Dari stasiun Tugu kita sempet
turun di Kutoarjo untuk ganti kereta. Terus dari Kutoarjo kita lanjut dan
berhenti di stasiun Jatinegara. Dari Jatinegara kita dijemput oleh temen dari
UI untuk selanjutnya di bawa ke hotel melati. Maksudku penginapan.
Oh ya, pas di perjalanan dari
Jogja menuju Kutoarjo, subuh-subuh, karena malemnya aku belum tidur, aku sempet
ketiduran di kereta.
Ini bukan mayat |
Habis itu di perjalanan
Kutoarjo-Jakarta, aku sempet sok-sok’an ngerjain tugas. Bosen juga duduk di kereta 7
jam lebih.
Ini aku lagi sok-sok'an |
Lanjut,
Hal pertama yang aku notice
setibanya di Jakarta adalah: MACETNYA MAKSIMAL. Padahal kemarin kita udah
pake sedan, tapi tetep kena macet (ngaruh gak sih?). Pokoknya beda jauh banget
sekali sama Jogja. Kayaknya separah apapun macetnya Jogja, tetepan lebih parah
macet di Jakarta. Jadi semakin cinta dah sama Jogja, muach.
Dan inilah rangkaian kegiatan
yang aku ikutin selama di UI:
1.
Hari Pertama (25/10)
Hari Selasa ini aku awali
dengan sangat biasa; bangun tidur jam 6, ngumpulin nyawa bentar, terus nabung.
Setelah sarapan nasi goreng
yang disediain panitia, kita lanjut ke acara inti hari ini, yaitu simposium #1
dengan tema “Membangun Paradigma Bangga Berbahasa Indonesia”. Acara yang
selanjutnya aku tau adalah semacam diskusi panel itu mendatangkan 3 pembicara:
a. Dr. Felicia Nuradi Utorodewo, direktur QITEP Language, dosen
UI.
b. Dr. Seno Gumira Ajidarma, Sastrawan, dosen UI.
c. Baty Subakti, konsultan B&B Communications, APMF, advisory
Board President.
Dari
ketiga pembicara tersebut, jujur aku nggak ada yang kenal sebelumnya. Paling Seno
Gumira Ajidarma yang beberapa bukunya ada di perpus FIB UGM. Lainnya aku baru
tahu kemarin. Tapi kalo ngeliat ada gelar direktur, sastrawan, apalagi President,
aku yakin mereka bertiga adalah orang yang expert, khususnya dalam
bidang Bahasa Indonesia.
Banyak
banget ilmu yang aku dapetin dari 3 pembicara yang keren-keren itu. Saking
banyaknya sampe nggak muat aku masukin ke tas. Salah satu hal yang berharga aku
dapetin dari Seno Gumira Ajidarma. Saat bung Seno (sok akrab banget ya?)
berbicara, bukannya merhatiin apa yang dia omongin, aku malah merhatiin gaya
dia berbicara. Beneran, aku ngamatin banget gayanya dia. Aku amatin, bung Seno
ini doyan banget ngomong “ya kan?”. Selama 5 menit aku ngitung bung Seno
mengucapkan “ya kan?” sebanyak 28 kali.
![]() |
Ini buktinya |
Sorenya
setelah diskusi panel selesai, kita diajak jalan-jalan ke perpustakan UI pusat.
Dan setelah mengunjungi perpus pusat UI tersebut, dengan berat hati aku mau
bilang “Anying, perpusnya UI keren abess”. Demi apa dah, perpusnya keren
banget. Atapnya aja ada lapangan golf. Yah bukan lapangan golf sih, tapi
rumput-rumputan gitu. Terus dalemnya men, fvck bagus banget. Kayak mall. Ada
liftnya pula. Belum lagi komputer umumnya udah pake Mac semua. Jadi ngiri
banget deh pokoknya. Jadi pengen kawin sama tuh perpus. Ini fotonya:
Setelah
dari perpus, balik penginapan, terus tewas di kamar masing-masing.
2.
Hari Ke-2 (26/10)
Sama seperti hari pertama,
agenda inti hari ini juga seminar dengan diskusi panel. Tapi temanya beda. Hari
kedua ini di bagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama pagi sampai siang dengan tema
“Perlukah Kritik Sastra?”. Kemudian setelah Dzuhur temanya ganti “Jenaka
Berbahasa”.
Sesi pertama menghadirkan 2
pembicara:
a.
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono. Sastrawan, kritikus sastra.
b.
Martin Aleida. Sastrawan.
Aku
selalu yakin, siapapun yang udah pake gelar “Prof. Dr.”, pastilah dia “orang
pintar”. Dan untuk Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, dia emang orang pintar. Bukunya
dia banyak banget di perpus FIB UGM. Tapi aku jarang membacanya. Hehehe.
Di sesi
pertama hari ke-2 ini aku melakukan hal yang sama aku lakuin di hari pertama.
Yaitu ngamatin gaya bicara. Tapi kali ini aku nggak ngamatin gaya bicara
pembicara yang sedang berbicara (mampus, pusing sendiri). Orang yang tidak
beruntung aku amatin itu adalah: Mas-mas moderator. Namanya juga diskusi formal
pasti ada moderatornya kan. Nha mas-mas moderator ini bentar-bentar ngomong
“mungkin”, bentar-bentar ngomong “mungkin”. Aku nyatet, dalam semenit dia
mengucapkan “mungkin” sebanyak 6 kali. Jadi misal pas lagi ada peserta yang
angkat tangan tanda mau berpendapat, mas moderatornya akan bilang:
“Yak, mungkin yang sebelah
sana dulu, silahkan. Mungkin bisa menghidupkan dulu mikrofonnya. Lalu mungkin
bisa sebutkan dahulu asal universitas. Dan yak, mungkin langsung saja apa
pendapatnya”.
Aku yang gemes sendiri pengen banget
ngangkat tangan terus bilang “Maaf mas, mungkin saya bisa gampar you punya
pala, boleh?”.
Tapi
tentu aku nggak ngelakuin itu, karena tepat semalemnya aku udah kenalan sama
mas moderator itu, namanya mas Agung. Dia orangnya asik banget buat ngobrol.
Dan pas lagi ngobrol biasa dia nggak pake “mungkin-mungkinan”. Kita juga
berasal dari ras yang sama: WONG JOWO.
**************************************************************
To
be continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar