Lanjutan dari postingan goes to UI....
***
Setelah sesi kedua yang temanya “Jenaka Berbahasa” dengan
pembicara Ibnu Wahyudi S.S, M.A, (dosen Prodi Indonesia, FIB UI) selesai, acara
lanjut penutupan simposium sekaligus penarikan kesimpulan. Semua peserta
disuruh, eh nggak disuruh denk, tapi diajak, ya diajak menarik
kesimpulan dari apa yang telah didapat selama dua hari simposium.
Dari panitia sendiri (UI) sudah membuat rumusan kesimpulannya,
kemudian dibagikan ke seluruh peserta, dan peserta dimintai tanggapannya.
Moment-moment seperti ini selalu menjadi ajang unjuk mulut (bukan unjuk gigi
lagi) bagi orang-orang yang doyan ngomong. Buat aku sendiri, berhubung aku
orangnya pendiam dan cool (baca: gagap kalo ngomong di depan umum) maka
aku lebih banyak diemnya.
Dan beneran aja, begitu moderator membacakan rumusan simpulan
point pertama, banyak banget peserta yang angkat tangan. Ini bunyi point
pertama:
- Bangga berbahasa Indonesia berarti bangga
dan percaya diri menjadi orang Indonesia, mampu mengenal kelebihan dan
kekurangan, dan tidak berhenti menggali potensi bangsa melalui bahasa
Indonesia.
Dari
beberapa peserta yang angkat tangan dipilih satu orang oleh moderator untuk
diberi kesempatan bicara. Kalo yang nggak dapet Kesempatan, diberi Dana Umum.
Peserta yang mendapat kesempatan itu aku udah lupa namanya siapa dari
universitas mana, tapi pendapatnya aku masih ingat. Sebut saja dia “Mawar”,
meskipun dia cowok.
Si
Mawar bilang:
“Bla
bla bla.... Saya kira kata ‘mengenal’ lebih baik diganti ‘mengetahui’.
Karena berdasarkan notulensi kami, kemarin Bu Sis (Dr. Felicia,
pembicara hari pertama) juga menggunakan kata “mengetahui”. Jadi menurut kami
sebaiknya redaksionalnya perlu diganti”
Aku
hanya bisa mendengarkan sambil berpikir “notulensi itu apa ya?”.
Moderator
langsung menanggapi (dengan keren):
“Yak, terima kasih atas tanggapannya. Oke,
sekarang gini, teman-teman semua tahu Mas Iben?”. Tanya moderator ke
semua peserta. Mas Iben adalah nama panggilan Ibnu Wahyudi, pembicara terakhir
tadi.
“Tauuuuu”
jawab sebagian besar peserta, kompak.
“Terus,
apakah kalian kenal dengan Mas Iben?”
“Tidaak”
jawab peserta terdengar agak ragu. Aku sendiri juga bilang ‘tidak’, tapi lirih.
“Nah,
sekarang tahu bedanya ‘mengenal’ dengan ‘mengetahui’?”
“Tauuuu”
peserta kembali kompak. Aku diem, masih mikir. Mikir notulensi sama
mikir perbedaannya ‘kenal’ dengan ‘tahu’.
“Jadi
lebih tepat yang mana?”
“Mengenaaaaal”
Aku
masih diem. Masih berpikir. Sampe akhirnya: aaaahh, geblek. Aku tau bedanya.
Aku
nangkep, kata mengenal dirasa menunjukkan suatu hubungan yang lebih
dekat daripada kata mengetahui. Contoh simpelnya seperti ini: antara aku
dengan Maria Ozawa, aku tahu tentang dia, tapi aku nggak kenal. Intinya adalah:
tahu dan tempe sama-sama dari kedelai...*ngaco. Intinya tu “Tahu belum tentu
kenal, tapi kenal sudah pasti tahu”. Hubungannya dengan point pertama di
atas adalah bahwa kita diharapkan lebih mengenali bahasa kita sendiri (Bahasa
Indonesia), tidak hanya sekedar tahu.
Point
pertama: Beres.
Ya,
aku pikir point pertama sudah beres. Ee gak taunya ada peserta lain yang angkat
tangan terus bilang gak setuju. Dia lebih setuju dengan kata “mengetahui”. Dia
pro dengan si Mawar. Jadi sebut saja dia Melati, meskipun dia cowok juga.
Malangnya
si Melati, pendapat dia tidak diamini oleh moderator. Tapi si Melati agak ngotot. Berbagai argumen dia keluarkan untuk mendukung si Mawar. Akhirnya moderator
memutuskan untuk voting. Hasil voting menyatakan kubu Mawar kalah. Lalu mereka walk
out dan memutuskan bergabung dengan Nasional Demokrat. Oke, kalimat
terakhir aku bercanda.
Keputusan
tetap pada kata “mengenal”.
Ketika
mau lanjut ke point selanjutnya, ada seorang peserta cowok angkat tangan.
“Interupsi!”
katanya agak lantang di depan mikrofon.
“Maaf,
saya tidak setuju dengan voting!", dia menarik napas sebentar, lalu melanjutkan . "Kenapa kami jauh-jauh datang ke UI ini kalo
akhirnya harus voting?! Saya rasa kita harus membahas redaksional ini
lebih jauh. Biar jelas semuanya sampai ke hal-hal yang kecil. Bahkan kalo harus
sampe tengah malam pun kami siap!” katanya lagi berapi-api.
Aku
dalam hati tereak-tereak “WOY!! JANGAN BAWA-BAWA KAMI DONK!! SAYA NDAK SIAP
SAMPE TENGAH MALEM DI SINI. DI SINI BANYAK NYAMUK!!”
Heran.
Semangat sama napsu gak ada bedanya.
Hal
selanjutnya yang aku tau adalah acara jadi ribet gara-gara kata “mengenal” dan
“mengetahui”. Tambahheran.com.
Aku
pun lebih memilih diem, lalu nulis ini di buku catatan kecil a.k.a blocknote:
![]() |
Font= Cakar Ayam |
***
Setelah
perdebatan yang hampir menjurus ke bacok-bacokan itu selesai, acara lanjut
membahas langkah konkret yang akan dilakukan selepas acara simposium
berakhir.
Moderator
membuka sesi berpendapat. Seperti biasa, tangan-tangan pada berhamburan di
udara. Ada yang usul bikin blog yang isinya tentang ke-Indonesia-an, ada
yang usul bikin acara lomba menulis tingkat nasional, ada yang usul acara
simposiumnya diadain rutin, dan yang paling bikin gemes: ada yang usul ngebahas
“mengenal-mengetahui” lagi (What the...). Semua pendapat dari setiap peserta aku dengerin
dengan seksama. Aku coba analisis. Dan aku perhatikan, sepertinya ada yang
salah. Aku merasa ada yang kurang. Aku merasa semua usul tersebut tidak
akan terlaksana jika “yang kurang” ini tidak dilakukan. Aha, ini saatnya aku
tampil.
Aku
cek ketekku, gak basah, lalu aku beranikan diri angkat tangan.
“Yak,
silahkan yang dari UGM” kata moderator memberi aku kesempatan untuk ikut bersuara.
Aku sempet ge’er dia bisa tahu aku dari UGM, padahal aku belom ngomong apa-apa.
Apakah wajahku keliatan intelek? Atau karena wajahku yang ‘rakyat’ banget? UGM
kan kampus kerakyatan. Lalu aku sadar, dia tau dari jas almamater yang aku
pake. Dia nggak tau kalo itu jas pinjeman. Hehehe.
“Perkenalkan
nama saya Fahmi, saya dari UGM” kataku memulai.
“Ee,
menurut saya, usul-usul tersebut sudah sangat baik. Hanya saja, saya merasa,
usulan itu tidak akan terlaksana, jika kita belum punya wadah. Jadi saya
mengusulkan, sebaiknya kita membuat komunitas, atau ikatan, atau, eee,
persatuan, terlebih dahulu. Komunitas yang terorganisir maksud saya. Yang
sama-sama memiliki kecintaan terhadap Bahasa Indonesia. Sehingga usulan
kegiatan yang sudah ada bisa terlaksana. Intinya kita membuat komunitas
terlebih dahulu. Sekian usul dari saya, terima kasih”
Aku
yakin usulku itu adalah usul yang paling keren (meskipun nyampeinnya gagap).
Secara, peserta lain langsung pada usul kegiatan, tapi mereka lupa satu hal:
KITA BELUM PUNYA WADAH MEN!
“Terima
kasih atas usulnya, mas dari UGM” kata moderator. “Okey, ehm, kalian semua tau
IMABSI?”
“TAUUUUU”
jawab sebagian besar peserta. Aku hanya diem, karena nggak tau apa itu IMABSI.
Moderator
melanjutkan “Ya, jadi kita sudah punya komunitas. Namanya IMABSI, Ikatan
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Indonesia. Jadi, sepertinya kita tidak
perlu membuat komunitas lagi, ya?”
Aku
diem.
Malu
abis.
Mbak
Fitria, kenalan dari UI yang kebetulan duduk di sebelahku, bilang “UGM juga
udah jadi anggota kog”
Tambah
malu.
Mencoba
ngeles, aku tanya ke Arya (temen sesama UGM) “Iya po kita udah masuk ke
IMABSI?”
“Iya,
udah. Lo gak tau?”
“Hah?
Kog aku gak tau?”
Dyah,
temen sesama UGM juga, tiba-tiba nimbrung “Ih Fahmi usulnya malu-maluin”
Malumaksimal.com
Usaha
untuk terlihat keren: GAGAL.
![]() |
Jangan ditiru |
***
Malemnya,
kita ada acara semacam pesta perpisahan. Lebih tepatnya, pesta perpisahan
sederhana. Ya, sederhana. Karena cuman di panggung terbuka yang nggak gitu
gede. Tapi itu gak jadi masalah. Karena intinya seneng-seneng. Gak ada acara
debat-debatan milih kata mengenal-mengetahui lagi.
Nha,
tiap-tiap universitas yang jadi peserta diminta untuk nampilin sesuatu. Nggak
diminta juga sih. Terserah siapa yang mau tampil ya maju ke depan.
Ternyata
pesertanya cukup antusias.
Yang
dari Riau (kalo gak salah dari Universitas Islam Riau), tampil ke depan dengan
pantun-pantunnya yang kocak.
Yang
dari Banten (Untirta), nampilin seorang cewek nyanyi lagunya Citra.
Terus
ada yang baca puisi, tapi aku lupa dari universitas mana.
Dari
UGM sendiri, ehm, aku yang maju. Aku menampilkan keahlianku maen debus, dengan
atraksi berdiri di atas tokai kucing tanpa membuat tokainya penyet. Oke,
bercanda.
Eh
tapi beneran aku maju ke panggung. Aku nyobain stand up comedy.
Hasilnya: LUAR BIASA. Begitu naek ke panggung, belum ngomong apa-apa, aku
langsung dilemparin batu sambil ditereakin “LABAIK ALLAHUMMA LABAIK.. LABAIK
ALLAHUMMA LABAIK”. Dianggap setan coba. Gembel.
Gak
lah. Becanda lagi. Intinya gitu deh, aku sempet maju.
Ini fotoku pas lagi di stand up comedy:
malah kayak bencong |
***
Hah,
gak kerasa ceritanya jadi panjang banget.
Oke
oke. Ini penutup.
Overall, acara di FIB UI-nya seru maksimal. Seneng
banget bisa dapet kenalan dari berbagai macam daerah di Indonesia. Seneng bisa
kenal sama temen-temen dari UI, Undip, Untirta, Universitas Udayana,
Universitas Andalas, UPI, Universitas Islam Riau, UAD Jogja, UMM Malang, UNA-SUMUT, UNINDRA, Universitas Negeri Jember, Universitas Muhammadiyah Jember, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, USI-Pematang Siantar, UTM-Magelang, dan Universitas Galuh Ciamis. Semuanya keren-keren.. :)
Seneng
juga bisa jalan-jalan ke UI. Oia, ngomong-ngomong soal UI, di sana aku sempet
naek “bikun” alias bis kuning. Ya, di sana semuanya serba kuning. Selain bikun,
ada juga “jakun”: jaket kuning, terus ada lagi sepeda kuning. Sewaktu ngeliat
sepeda kuning, aku nanya ke seorang kenalan dari UI.
Fahmipolos: “Kalo sepeda kuning
singkatannya jadi apa?”
KenalanDariUI: “Kalo itu namanya
Spekun”
Fahmipolos: “HAH? PECUN?”
KenalanDariUI: “SPEKUN, MI! SPEKUN!”
Fahmipolos:
“Ooh”
Aneh, memang. Tapi hal ini justru
membuat mataku terbuka. Membuat aku sadar. Bahwa ternyata, di dunia ini, istilah “kuning”
itu tidak hanya digunakan untuk menyebut LELE.
Sebagai
penutup beneran, aku mau pamer fotoku bersama temen-temen peserta semua. :D
Mi, mungkin ILMIBSI, bukan IMABSI....
BalasHapuseh, bner denk... ttg SasIndo y?
BalasHapusIya bener IMABSI kog san..
BalasHapus