Jumat, 11 November 2011

Goes to UI (Part II)


Lanjutan dari postingan goes to UI....
***
Setelah sesi kedua yang temanya “Jenaka Berbahasa” dengan pembicara Ibnu Wahyudi S.S, M.A, (dosen Prodi Indonesia, FIB UI) selesai, acara lanjut penutupan simposium sekaligus penarikan kesimpulan. Semua peserta disuruh, eh nggak disuruh denk, tapi diajak, ya diajak menarik kesimpulan dari apa yang telah didapat selama dua hari simposium.
Dari panitia sendiri (UI) sudah membuat rumusan kesimpulannya, kemudian dibagikan ke seluruh peserta, dan peserta dimintai tanggapannya. Moment-moment seperti ini selalu menjadi ajang unjuk mulut (bukan unjuk gigi lagi) bagi orang-orang yang doyan ngomong. Buat aku sendiri, berhubung aku orangnya pendiam dan cool (baca: gagap kalo ngomong di depan umum) maka aku lebih banyak diemnya.
Dan beneran aja, begitu moderator membacakan rumusan simpulan point pertama, banyak banget peserta yang angkat tangan. Ini bunyi point pertama:
  1. Bangga berbahasa Indonesia berarti bangga dan percaya diri menjadi orang Indonesia, mampu mengenal kelebihan dan kekurangan, dan tidak berhenti menggali potensi bangsa melalui bahasa Indonesia.
Dari beberapa peserta yang angkat tangan dipilih satu orang oleh moderator untuk diberi kesempatan bicara. Kalo yang nggak dapet Kesempatan, diberi Dana Umum. Peserta yang mendapat kesempatan itu aku udah lupa namanya siapa dari universitas mana, tapi pendapatnya aku masih ingat. Sebut saja dia “Mawar”, meskipun dia cowok.
Si Mawar bilang:
“Bla bla bla.... Saya kira kata ‘mengenal’ lebih baik diganti ‘mengetahui’. Karena berdasarkan notulensi kami, kemarin Bu Sis (Dr. Felicia, pembicara hari pertama) juga menggunakan kata “mengetahui”. Jadi menurut kami sebaiknya redaksionalnya perlu diganti”
Aku hanya bisa mendengarkan sambil berpikir “notulensi itu apa ya?”.
Moderator langsung menanggapi (dengan keren):
 “Yak, terima kasih atas tanggapannya. Oke, sekarang gini, teman-teman semua tahu Mas Iben?”. Tanya moderator ke semua peserta. Mas Iben adalah nama panggilan Ibnu Wahyudi, pembicara terakhir tadi.
“Tauuuuu” jawab sebagian besar peserta, kompak.
“Terus, apakah kalian kenal dengan Mas Iben?”
“Tidaak” jawab peserta terdengar agak ragu. Aku sendiri juga bilang ‘tidak’, tapi lirih.
“Nah, sekarang tahu bedanya ‘mengenal’ dengan ‘mengetahui’?”
“Tauuuu” peserta kembali kompak. Aku diem, masih mikir. Mikir notulensi sama mikir perbedaannya ‘kenal’ dengan ‘tahu’.
“Jadi lebih tepat yang mana?”
“Mengenaaaaal”
Aku masih diem. Masih berpikir. Sampe akhirnya: aaaahh, geblek. Aku tau bedanya.
Aku nangkep, kata mengenal dirasa menunjukkan suatu hubungan yang lebih dekat daripada kata mengetahui. Contoh simpelnya seperti ini: antara aku dengan Maria Ozawa, aku tahu tentang dia, tapi aku nggak kenal. Intinya adalah: tahu dan tempe sama-sama dari kedelai...*ngaco. Intinya tu “Tahu belum tentu kenal, tapi kenal sudah pasti tahu”. Hubungannya dengan point pertama di atas adalah bahwa kita diharapkan lebih mengenali bahasa kita sendiri (Bahasa Indonesia), tidak hanya sekedar tahu.
Point pertama: Beres.
Ya, aku pikir point pertama sudah beres. Ee gak taunya ada peserta lain yang angkat tangan terus bilang gak setuju. Dia lebih setuju dengan kata “mengetahui”. Dia pro dengan si Mawar. Jadi sebut saja dia Melati, meskipun dia cowok juga.
Malangnya si Melati, pendapat dia tidak diamini oleh moderator. Tapi si Melati agak ngotot. Berbagai argumen dia keluarkan untuk mendukung si Mawar. Akhirnya moderator memutuskan untuk voting. Hasil voting menyatakan kubu Mawar kalah. Lalu mereka walk out dan memutuskan bergabung dengan Nasional Demokrat. Oke, kalimat terakhir aku bercanda.
Keputusan tetap pada kata “mengenal”.
Ketika mau lanjut ke point selanjutnya, ada seorang peserta cowok angkat tangan.
“Interupsi!” katanya agak lantang di depan mikrofon.
“Maaf, saya tidak setuju dengan voting!", dia menarik napas sebentar, lalu melanjutkan . "Kenapa kami jauh-jauh datang ke UI ini kalo akhirnya harus voting?! Saya rasa kita harus membahas redaksional ini lebih jauh. Biar jelas semuanya sampai ke hal-hal yang kecil. Bahkan kalo harus sampe tengah malam pun kami siap!” katanya lagi berapi-api.
Aku dalam hati tereak-tereak “WOY!! JANGAN BAWA-BAWA KAMI DONK!! SAYA NDAK SIAP SAMPE TENGAH MALEM DI SINI. DI SINI BANYAK NYAMUK!!”
Heran. Semangat sama napsu gak ada bedanya.
Hal selanjutnya yang aku tau adalah acara jadi ribet gara-gara kata “mengenal” dan “mengetahui”. Tambahheran.com.
Aku pun lebih memilih diem, lalu nulis ini di buku catatan kecil a.k.a blocknote:
Font= Cakar Ayam

Hasil kesimpulan Simposium bisa dilihat di sini.
***
Setelah perdebatan yang hampir menjurus ke bacok-bacokan itu selesai, acara lanjut membahas langkah konkret yang akan dilakukan selepas acara simposium berakhir.
Moderator membuka sesi berpendapat. Seperti biasa, tangan-tangan pada berhamburan di udara. Ada yang usul bikin blog yang isinya tentang ke-Indonesia-an, ada yang usul bikin acara lomba menulis tingkat nasional, ada yang usul acara simposiumnya diadain rutin, dan yang paling bikin gemes: ada yang usul ngebahas “mengenal-mengetahui” lagi (What the...). Semua pendapat dari setiap peserta aku dengerin dengan seksama. Aku coba analisis. Dan aku perhatikan, sepertinya ada yang salah. Aku merasa ada yang kurang. Aku merasa semua usul tersebut tidak akan terlaksana jika “yang kurang” ini tidak dilakukan. Aha, ini saatnya aku tampil.
Aku cek ketekku, gak basah, lalu aku beranikan diri angkat tangan.
“Yak, silahkan yang dari UGM” kata moderator memberi aku kesempatan untuk ikut bersuara. Aku sempet ge’er dia bisa tahu aku dari UGM, padahal aku belom ngomong apa-apa. Apakah wajahku keliatan intelek? Atau karena wajahku yang ‘rakyat’ banget? UGM kan kampus kerakyatan. Lalu aku sadar, dia tau dari jas almamater yang aku pake. Dia nggak tau kalo itu jas pinjeman. Hehehe.
“Perkenalkan nama saya Fahmi, saya dari UGM” kataku memulai.
“Ee, menurut saya, usul-usul tersebut sudah sangat baik. Hanya saja, saya merasa, usulan itu tidak akan terlaksana, jika kita belum punya wadah. Jadi saya mengusulkan, sebaiknya kita membuat komunitas, atau ikatan, atau, eee, persatuan, terlebih dahulu. Komunitas yang terorganisir maksud saya. Yang sama-sama memiliki kecintaan terhadap Bahasa Indonesia. Sehingga usulan kegiatan yang sudah ada bisa terlaksana. Intinya kita membuat komunitas terlebih dahulu. Sekian usul dari saya, terima kasih”
Aku yakin usulku itu adalah usul yang paling keren (meskipun nyampeinnya gagap). Secara, peserta lain langsung pada usul kegiatan, tapi mereka lupa satu hal: KITA BELUM PUNYA WADAH MEN!
“Terima kasih atas usulnya, mas dari UGM” kata moderator. “Okey, ehm, kalian semua tau IMABSI?”
“TAUUUUU” jawab sebagian besar peserta. Aku hanya diem, karena nggak tau apa itu IMABSI.
Moderator melanjutkan “Ya, jadi kita sudah punya komunitas. Namanya IMABSI, Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Indonesia. Jadi, sepertinya kita tidak perlu membuat komunitas lagi, ya?”
Aku diem.
Malu abis.
Mbak Fitria, kenalan dari UI yang kebetulan duduk di sebelahku, bilang “UGM juga udah jadi anggota kog”
Tambah malu.
Mencoba ngeles, aku tanya ke Arya (temen sesama UGM) “Iya po kita udah masuk ke IMABSI?”
“Iya, udah. Lo gak tau?”
“Hah? Kog aku gak tau?”
Dyah, temen sesama UGM juga, tiba-tiba nimbrung “Ih Fahmi usulnya malu-maluin”
Malumaksimal.com
Usaha untuk terlihat keren: GAGAL.
Jangan ditiru

***
Malemnya, kita ada acara semacam pesta perpisahan. Lebih tepatnya, pesta perpisahan sederhana. Ya, sederhana. Karena cuman di panggung terbuka yang nggak gitu gede. Tapi itu gak jadi masalah. Karena intinya seneng-seneng. Gak ada acara debat-debatan milih kata mengenal-mengetahui lagi.
Nha, tiap-tiap universitas yang jadi peserta diminta untuk nampilin sesuatu. Nggak diminta juga sih. Terserah siapa yang mau tampil ya maju ke depan.
Ternyata pesertanya cukup antusias.
Yang dari Riau (kalo gak salah dari Universitas Islam Riau), tampil ke depan dengan pantun-pantunnya yang kocak.
Yang dari Banten (Untirta), nampilin seorang cewek nyanyi lagunya Citra.
Terus ada yang baca puisi, tapi aku lupa dari universitas mana.
Dari UGM sendiri, ehm, aku yang maju. Aku menampilkan keahlianku maen debus, dengan atraksi berdiri di atas tokai kucing tanpa membuat tokainya penyet. Oke, bercanda.
Eh tapi beneran aku maju ke panggung. Aku nyobain stand up comedy. Hasilnya: LUAR BIASA. Begitu naek ke panggung, belum ngomong apa-apa, aku langsung dilemparin batu sambil ditereakin “LABAIK ALLAHUMMA LABAIK.. LABAIK ALLAHUMMA LABAIK”. Dianggap setan coba. Gembel.
Gak lah. Becanda lagi. Intinya gitu deh, aku sempet maju.
Ini fotoku pas lagi di stand up comedy:
malah kayak bencong
 
***
Hah, gak kerasa ceritanya jadi panjang banget.
Oke oke. Ini penutup.
Overall, acara di FIB UI-nya seru maksimal. Seneng banget bisa dapet kenalan dari berbagai macam daerah di Indonesia. Seneng bisa kenal sama temen-temen dari UI, Undip, Untirta, Universitas Udayana, Universitas Andalas, UPI, Universitas Islam Riau, UAD Jogja, UMM Malang, UNA-SUMUT, UNINDRA, Universitas Negeri Jember, Universitas Muhammadiyah Jember, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, USI-Pematang Siantar, UTM-Magelang, dan Universitas Galuh Ciamis. Semuanya keren-keren.. :)
Seneng juga bisa jalan-jalan ke UI. Oia, ngomong-ngomong soal UI, di sana aku sempet naek “bikun” alias bis kuning. Ya, di sana semuanya serba kuning. Selain bikun, ada juga “jakun”: jaket kuning, terus ada lagi sepeda kuning. Sewaktu ngeliat sepeda kuning, aku nanya ke seorang kenalan dari UI.
Fahmipolos: “Kalo sepeda kuning singkatannya jadi apa?”
KenalanDariUI: “Kalo itu namanya Spekun”
Fahmipolos: “HAH? PECUN?”
KenalanDariUI: “SPEKUN, MI! SPEKUN!”
Fahmipolos: “Ooh”
Aneh, memang. Tapi hal ini justru membuat mataku terbuka. Membuat aku sadar.  Bahwa ternyata, di dunia ini, istilah “kuning” itu tidak hanya digunakan untuk menyebut LELE.


Sebagai penutup beneran, aku mau pamer fotoku bersama temen-temen peserta semua. :D

3 komentar: