Kamis, 05 Juli 2012

Rumah Hantu #2


Kutipan Rumah Hantu #1:

Kami mengantre di depan pintu masuk (rumah hantu). Perjalanan yang mendebarkan akan segera dimulai.

Di sini, saya bingung mempersiapkan reaksi ketakutan seperti apa yang pantas saya ekspresikan. Apakah saya harus menjerit selepas-lepasnya? Atau menahan jerit agar terlihat elegan? Hal ini menjadi penting saya pikirkan karena ini menyangkut harga diri saya sebagai laki-laki di mata perempuan. Walaupun, saya sadar betul sedari awal saya sudah tidak punya harga diri di mata kawan-kawan saya ini. Tetapi, posisi sebagai lelaki satu-satunya menuntut saya untuk selalu tampil paling berani dalam situasi apapun.

Mampukah saya melakukannya?


Jawaban : TIDAK.

***

Di sela-sela mengantre, saya tak henti-hentinya merapalkan doa. Doa yang paling kencang saya panjatkan adalah agar saya tidak dipertemukan dengan hantu yang ramai di bioskop saat ini; seperti hantu “Mama Minta Pulsa”.

Hantu macam apa itu?

Hantu model begitu pastinya sangat menyeramkan (dan absurd). Saya membayangkan ada pocong loncat-loncat, lalu ketika sampai di depan muka saya, dia berkata datar, “Bagi pulsanya, Oom.” Saya pasti akan kabur sambil menjerit, “AKU GAK PUNYA PULSAAA...”

Tidak menutup kemungkinan selanjutnya akan ada “Hantu Minta Pin BB”. Kalau saya dijumpai hantu seperti itu, reaksi saya sama: berlari sambil menjerit, “HAPEKU BUKAN BEBEEE...”

Mungkin, kekhawatiran saya berlebihan. Tetapi begitulah keadaannya. Baru mengantre saja saya sudah merinding setengah mati. Kekhawatiran yang saya alami membuat saya jadi parnoan dan panikan. Bahkan, saya sempat berteriak “ALLAHU AKBAR!” ketika Febri menepuk pundak saya untuk mengatakan “Depanmu udah kosong, Mi, ayo jalan.”

Giliran kami masuk semakin dekat. Tinggal satu rombongan di depan dan setelah itu kami akan masuk. Rombongan di depan kami terdiri atas empat orang: dua pasang muda-mudi. Dari dua pasangan tersebut, si cowok terlihat cool, tenang, kalem, tidak menunjukkan gelagat ketakutan. Sementara si cewek, yang berdiri di belakang si cowok, nampak cemas dan gelisah sehingga sesekali ia merapatkan badannya ke si cowok.

Menyaksikan pasangan itu, entah kenapa saya menduga motivasi si cowok membawa pasangannya ke rumah hantu ini adalah agar si cewek ketakutan, dan berakhir dengan terus menerus memeluknya.

Ya, umumnya pihak cewek lebih penakut dibanding pihak cowok.

Nah, situasi bertolak belakang terjadi di rombongan kami. Febri, Boru, Beta dan Chicha (cewek) berada di ‘pihak tidak takut’, sementara saya (cowok) justru berada di ‘pihak takut’.

Jika pada rombongan di depan kami ‘pihak takut’ (baca: cewek) dibolehkan atau bahkan diharapkan untuk memeluk ‘pihak tidak takut’ (baca: cowok), maka rombongan kami berkebalikan. Di rombongan kami, pihak takut (baca: saya) harus siap menerima risiko babak belur jika berani mencoba memeluk pihak yang tidak takut (baca: dihajar pacar kawan-kawan saya itu).

Ya, kawan-kawan saya itu sudah punya pacar semua. Terlebih lagi, kawan-kawan saya itu berasal dari keluarga tentara dan pacarnya juga tentara. Bah! Bisa dibedil kepala saya ini jika sampai coba macam-macam.

Giliran kami masuk kini benar-benar tiba.

***

Pintu masuk rumah hantu ini terhitung kecil, hanya muat dilewati satu orang. Tidak ada daun pintu, hanya ada selembar kain hitam yang digantung pada bagian atas sebagai sekat zona dalam dengan luar. Tepat di depan pintu, berdiri seorang petugas pengecek tiket yang mengenakan pakaian horor (maksa). Petugas tersebut mengenakan jubah hitam yang besar, lengkap dengan penutup kepala yang tak kalah besar. Untuk menambah kesan misterius, kepalanya ditekuk sehingga wajahnya terhalang oleh kerudungnya yang lebar. Di mata saya, petugas ini tak lain adalah Voldemort. Voldemort yang kehilangan jati diri lalu banting setir jadi tukang tiket.

Saya menyerahkan lima lembar tiket kepada Voldemort. Voldemort mengecek sebentar, kemudian mengembalikannya lagi kepada saya sembari berkata, “Ini tiketnya nanti bisa ditukar Perdana Axis.”

Bah! Saya agak terkejut.

Voldemort zaman sekarang tidak puas hanya jadi petugas tiket, jualan pulsa pun dilakonin. Saya curiga, jangan-jangan nanti ada hantu Voldemort Minta Pulsa.

Saya menerima kembali tiket itu dan mengucapkan terima kasih.

Selanjutnya, kami masuk...

Dengan gemetar, saya menyingkap tirai hitam yang berfungsi sebagai pintu, lalu perlahan melangkah masuk. Di belakang saya, berturut-turut Febri, Boru, Beta, dan Chicha. Chicha yang posisinya paling belakang memegang pundak Beta, lalu Beta memegang pundak Boru, Boru memegang pundak Febri, Febri memegang pundak saya, dan saya memegang muka sendiri (baca: menutup mata).

“FEB, GELAP, FEB! AKU GAK BISA LIHAT APA-APA!” saya mulai meracau.

“Tanganmu dibuka dulu, bego!”

Begitu membuka mata, yang terlihat adalah ruangan sempit berukuran 3x3 meter. Di salah satu sudut terlihat pohoh bambu yang hampir layu, dan di sampingnya terdapat senthir (lampu teplok) yang menjadi satu-satunya sumber cahaya sekaligus memberikan nuansa remang-remang. Dua detik saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan ini dan tak mendeteksi adanya penampakan. Yang saya lihat hanyalah sebuah lorong sempit dan gelap di sudut sebelah pohon bambu.

“Itu, Mi, jalan ke sana, Mi.” Febri memberi instruksi sambil menunjuk arah lorong sempit-gelap itu.

Kami mengendap-endap melintasi ruangan remang-remang untuk menuju lorong sempit-gelap yang ditunjuk Febri. Pas sampai di mulut lorong, saya berhenti. Lorongnya gelap. Sangat gelap.

“Kenapa berhenti, Mik?!” suara Febri terdengar nyaring.

“Gelap banget sumpah! Gak kelihatan jalannya!” saya tak kalah nyaring.

“Tanganmu udah dibuka belom??”

“UDAH!”

Saya baru hendak melanjutkan langkah ketika tiba-tiba Chicha di belakang menjerit. Ada apa? Saya menoleh, dan... mendadak sesosok makhluk hitam melompat keluar dari balik pohon bambu di sebelah kami. GENDERUWO!!

Chicha menjerit, Beta menjerit, kami berlima menjerit. “HWUUAAAAAAAARRGGGHH...”

Tanpa berpikir saya langsung melompat masuk ke lorong kegelapan. Lari. Saya tidak peduli jalannya nggak kelihatan. Kami semua berlari dan menjerit. Baru lima langkah berlari... BRAKKK!!!

Saya menumbuk tembok yang terbuat dari bambu!

Sontak saya mengumpat.

Panik, saya menyeruduk membabi buta ke segala arah. Dan hasilnya sama: nabrak tembok lalu mengumpat. Semakin panik, saya menendang-nendang tembok sambil berteriak, “MANA PINTU KELUARNYA??!!! KEMANA, WOY?!! MANA PINTUNYA?!! AAAAARRGH!!”

Kawan-kawan saya di belakang terus mendorong saya sambil tak berhenti menjerit. Saya mau nangis.

Di tengah kepanikan mahadahsyat ini, di dalam kegelapan, samar-samar mata saya menangkap sesosok bayangan putih melayang di udara. Bayangan putih itu bergerak mendekat ke arahku. Semakin dekat... semakin dekat... semakin dekat... dan saya pun mengerang, “AAAAAARRRGGGHHH...”

“Tenang, Mas, Tenang! Saya guide!” bayangan putih itu berbicara tiba-tiba.

Setelah mengecilkan volume erangan, saya segera tersadar bayangan putih itu adalah seorang mas-mas biasa, bukan setan. Karena keadaan yang terlampau gelap (dan kulit mas-mas itu sepertinya juga gelap), menjadikan yang nampak darinya hanya kaus putih yang ia kenakan. Asem, ternyata guide. Saya sempat mengira ia adalah hantu tank top melayang.

“Jalannya mana, Mas? Gak kelihatan apa-apa di sini.” protes saya kepada mas-mas guide itu.

“Lewat sini, Mas.” jawabnya singkat lalu melangkah menunjukkan jalan.

Kami pun mengekor mas-mas guide itu. Mas-mas guide berjalan cukup cepat sehingga saya juga mempercepat langkah kaki saya untuk mengimbanginya (dan supaya tidak kehilangan jejak!).

Hal selanjutnya yang saya tahu adalah rombongan berjalan terlalu cepat sehingga saya tidak sempat mengamati apapun yang saya lewati. Yang saya tangkap, kami berjalan memasuki suatu ruangan demi ruangan. Ruangan yang gelap, sempit, pengap, mirip kandang kuda. Antara satu ruangan dengan ruangan lain disekat menggunakan kain hitam. Dan, di setiap ruangan, dijaga beberapa “penunggu” yang pekerjaannya mengageti orang lewat.

Entah berapa ruangan yang kami lewati dan entah berapa kali kami menjerit dan mengumpat (terutama saya) sampai akhirnya kami keluar ke ruangan semi terbuka. Semi terbuka, karena masih ada pagar yang mengelilingi, tetapi bagian atapnya sudah tidak ada sehingga cahaya bulan yang kebetulan terang mampu menjadi lampu alam. Lega rasanya. Ternyata cuma begini doang. Saya merasa sangat berterima kasih sekali kepada mas-mas guide. Kalau tidak ada dia, kemungkinan saya sudah mati menjerit di dalam.

Saya mengatur napas, dan adrenalin pun kembali normal.

Kelegaan saya mendadak pupus, segera setelah menyadari ternyata ruangan semi terbuka ini bukanlah akhir dari perjalanan kampret ini.

Bersambung (lagi)...