Rabu, 05 September 2012

Yang Pertama Yang Tak Terlupakan


Apapun yang berbau “pertama” selalu tak terlupakan.

Sewaktu SD dulu, aku selalu berangkat pagi-pagi sekali di hari pertama masuk sekolah (hari pertama tahun ajaran baru). Ini kulakukan karena dulu di SD, hari pertama masuk berarti hari “penentuan” tempat duduk. Siapa yang datang paling awal, dia bebas memilih tempat duduk untuk dipakai selama setahun ke depan. Peraturan tak tertulis itu menyebabkan aku dan kawan-kawan SD-ku berlomba berangkat pagi-pagi agar bisa mendapatkan posisi tempat duduk idaman.

Sekarang, aku bukan anak SD lagi, aku sudah kuliah semester lima, sudah tidak ada lagi peraturan aneh itu. Tetapi kemarin, Senin tanggal 3 September 2012, entah terkena angin nostalgia dari mana, aku pengin menjadi orang pertama yang masuk kelas di hari pertama aktif kuliah. Ya, Senin 3 September 2012 kemarin adalah hari pertamaku kuliah setelah sebelumnya libur panjang selama lebih dari satu bulan.

Sangat excited untuk kuliah perdana ini.

Kelas pertamaku akan dimulai pukul tujuh pagi, maka pada pukul 06.30 waktu Jogja aku berangkat. Padahal, di hari-hari biasa jam segitu aku baru bangun. Padahal pula, jarak tempat tinggalku dengan kampus hanya LIMA MENIT!

Menurut perhitunganku aku akan sampai di kampus pukul 06.35 dan aku yakin akan menjadi mahasiswa pertama yang memasuki kelas. Aku akan menjadi pelopor. Aku akan menjadi teladan bagi mahasiswa lain. Status sosialku akan meningkat. #Apaan sih?

Tiba di kampus pukul 06.40 (melenceng sedikit dari perkiraan, karena ternyata jam segitu jalanan ramai anak sekolah), aku bergegas dari tempat parkir menuju ruang kelas. Sambil berjalan, aku mengecek ulang tabel jadwal kuliahku, memastikan tidak salah jadwal:

-       Hari: Senin
-       Mata Kuliah: Multikultularisme
-       Dosen: Dr. Pujiharto M.Hum
-       Waktu: 07.00 – 09.30
-       Ruang: Margono 403

Jari telunjukku menunjuk tepat di atas tulisan Margono 403, lalu aku menggumam sendiri, “Kelas ini akan jadi saksi keteladananku. Yeah!

Di kampusku, Fakultas Ilmu Budaya UGM, terdapat satu gedung bernama gedung Margono Djojohadikusumo. Gedung itu memiliki empat lantai. Masing-masing lantai memiliki beberapa ruangan yang berbeda-beda fungsinya. Di lantai satu atau dasar terdapat kantor jurusan Arkeologi, lantai dua ada kantor jurusan Antropologi dan juga ruang multimedia yang sering digunakan untuk seminar, sementara lantai tiga dan empat berisi ruangan-ruangan kuliah. Nah, ruang Margono 403 yang akan menjadi kelasku adalah salah satu ruang kuliah yang ada di lantai empat.

Lantai empat tidak menjadi masalah karena gedung Margono dilengkapi lift. Yang menjadi masalah hanyalah jika lift-nya mati.

Begitu sampai di depan lift, dengan beringas aku menekan tombol arah naik. Anehnya, pintu lift tidak terbuka. Aku tekan lagi lebih keras. Masih tidak terbuka. Aku tekan terus dan lebih keras lagi tetapi lift tetap tidak terbuka. Kesal, aku gebuk tombol sialan itu pakai palu.

Ada apa dengan lift ini?

Laksana seorang mekanik (amatir), mataku menyisir sekitar tombol: barangkali ada tombol lain yang terlewatkan. Lalu, mataku menemukan sesuatu. Tepat di bawah tombol itu, ada sebuah lubang pipih yang tidak salah lagi difungsikan untuk dimasuki kunci, istilahnya: “rumah kunci”. Rumah kunci itu mirip sekali dengan kontak di sepeda motor Mio. Bedanya, kalau di sepeda motor pilihannya antara memutar kunci ke on atau ­off (plus kunci stang), sedangkan di lift itu pilihannya antara lock dan run.

Dan, rumah kunci itu mengarah ke lock. Artinya, LIFT BELUM AKTIF!

Daaaammmnnnn!!!

Sembari misuh-misuh, aku berjalan di tangga menuju lantai empat. Yah, hitung-hitung olahraga pagi. #menghibur diri sendiri.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup menguras kalori, akhirnya sampai juga di depan pintu bertuliskan 403. Akhirnya... terima kasih ya Allah. Belum pernah aku merasa sebahagia ini ketika hendak masuk kelas.

Sejenak aku mengintip isi kelas melalui kaca yang ada di tengah daun pintu. Tepat seperti dugaanku, kelas masih kosong. Muahahaha. Antara perasaan bangga, haru, lelah, kesal, dan sedikit merasa bodoh, semuanya bercampur menjadi satu. Ah, senang sekali aku menjadi mahasiswa pertama yang masuk kelas di hari perdana kuliah.

Tanpa menunggu lama aku langsung memilih tempat duduk yang menurutku paling nyaman. Hak istimewa (kebebasan memilih kursi) ini hanya bisa diperoleh siapa yang datang paling awal. Ideku berangkat paling pagi ini sungguh merupakan ide brilian. Seharusnya aku mendapat nobel untuk ini.

Duduk sendiri di dalam kelas, aku melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 06.50. Sepuluh menit lagi kelas akan dimulai tetapi belum ada teman lain yang datang. Aku tidak begitu heran. Kebanyakan mahasiswa/i mempunyai pandangan bahwa jika suatu kuliah dijadwal jam tujuh, berarti kuliah “yang sesungguhnya” akan dimulai jam 07.15. Biasanya memang begitu, beberapa dosen sering memberi toleransi beberapa menit untuk keterlambatan. Sayangnya, tidak sedikit mahasiswa/i yang malah menganggap toleransi waktu itu sebagai waktu reguler sehingga mereka berpikiran masuk kelas pukul tujuh lebih adalah tidak terlambat.

Aku menduga teman-teman lain baru akan sampai di kelas pukul 07.05. Ternyata, dugaanku meleset. Ketika jam menunjuk pukul 06.55, dua orang cewek (baca: mahasiswi) masuk ke kelas. Mereka terlihat bingung sebentar. Kemudian, mereka berdua melihat ke arahku, lalu melempar senyum. Aku tangkap senyumnya, aku lempar balik ke dia. Eh, dia melempar lagi. Aku bales lempar lebih keras, kena jidat mereka, kepala mereka bocor.

Aku yakin dua mahasiswi itu pas melihatku pasti berpikir, “Bujug buneng ini cowok rajin amat. Malu aku kalah rajin sama dia.

Dua mahasiswi ini nampak seperti mahasiswi pada umumnya. Tetapi yang aneh, aku tidak mengenal mereka. Ya, itu aneh. Sebab, seharusnya kelas Multikultularisme ini hanya diisi teman-teman seangkatanku yang sudah aku kenal semua. Aku sudah memastikan hal ini beberapa hari sebelumnya. Lantas, mereka berdua siapa?

Jawaban paling logis adalah aku yang kurang gaul sampai tidak tahu mereka adalah teman seangkatan. Tapi kalau dipikir lagi, aku sudah kuliah dua tahun, angkatanku berjumlah cuma 40an orang, mana mungkin ada yang belum aku kenal?

Ah, kenapa pula dipikir-pikir. Mungkin saja mereka mahasiswi dari jurusan lain yang mengambil mata kuliah ini. Atau bisa saja mereka kakak angkatan yang belum aku kenal. Yang jelas, mereka berdua cewek, aku cowok, dan kami berada dalam ruangan yang (masih) sepi. Aha, ini adalah momentumku untuk show off. Lagi pula, kedua cewek ini terlihat cukup menarik.

Buat cowok, show off untuk menarik perhatian cewek bukanlah soal sulit. Cowok tidak perlu memamerkan otot-ototnya yang kekar dan juga tidak perlu memecahkan tumpukan batu bata di hadapan cewek hanya untuk membuat si cewek terkesan. Yang perlu cowok lakukan hanya dua pilihan: bersikap cool atau sok cool.

Cewek cenderung lebih tertarik pada cowok yang cool karena mereka (para cewek) penasaran seperti apa kepribadian si cowok di balik kemisteriusannya itu. Perkara akhirnya mau serius tertarik atau tidak itu urusan belakang. Yang jelas untuk di awal, cowok yang cool lebih menarik bagi cewek dibanding cowok yang tidak cool. Aku tahu informasi ini dari sebuah artikel yang pernah aku baca di majalah Gadis.

Aku memulai sikap sok cool dengan mengangkat dan melipat kaki sebelah kanan lalu menumpangkannya pada paha kaki kiri. Punggung aku senderkan pada sandaran kursi, tetapi posisi badan tetap tegak. Gaya ini aku sempurnakan dengan meletakkan sebuah buku bacaan di meja, membukanya, kemudian berpura-pura membaca. Sebisa mungkin mataku tertuju pada buku, tidak menolah-noleh kemana-mana. Fokus.

Sampai di sini, aku bingung membedakan mana cool dan mana culun.

Di tengah pakem-pakemnya aku berlagak cool, tiga orang cowok masuk ke dalam kelas. Hanya selang tiga detik, di belakang tiga cowok itu, rombongan yang terdiri atas entah lima atau enam orang beriringan masuk ke dalam kelas. Dari semua orang yang baru masuk itu, tidak satu kepala pun yang aku kenal. Ini aneh. Mendadak aku diliputi kecemasan.

Di mana teman-teman seangkatanku?

Sudah jam 07.05 dan mereka belum datang. Ini aku yang terlalu rajin apa mereka yang terlalu malas?

Aku mulai berpikir ada yang salah di sini. Pikiran terburukku: jangan-jangan aku salah kelas?

Untuk memastikannya aku meng-SMS teman seangkatan yang seharusnya sudah duduk di kelas ini. Namanya Devita.

“Devita, kelas Multikultularisme di Margono 403 kan?”

Devita membalas, “Bukan, Mi. Di gedung F 305.”

TIIIDDDDDAAAAAAKKKKKKKKKK...

***

PS: Terlalu excited kadang membawa efek tidak baik, seperti salah membaca jadwal.