Kamis, 17 November 2011

Untuk Apa Sih Pacaran Itu?

Ehm, sebelumnya harap jangan membaca judul postingan ini dengan gaya bencong (biasanya ditambah kelingking ngetril di atas keyboard).

Sudah membaca judulnya dengan gaya biasa?

Oke, terima kasih.

*Gak penting. :D

Hmm... Sebenernya aku paling takut nulis ataupun berbicara tentang “pacaran”, soalnya pasti akan menjurus ke cinta-cintaan. You know, nulis tentang cinta, bagi saya, itu bagaikan ngajak bule America jalan-jalan ke Washington, bagaikan ngajak orang Jakarta jalan-jalan ke Monas, bagaikan ngajak orang Jogja jalan-jalan ke Sarkem. Aku ngomong tentang sesuatu yang aku sendiri belum paham betul, dan belum berpengalaman. Singkat kalimat: AKU NGGAK NGERTI TENTANG CINTA.

Tentang pacaran juga, aku bukan cowok yang expert dalam hal pacar memacar. Jumlah cewek yang tidak beruntung pernah aku pacarin nggak lebih dari jumlah jari tangan kepiting (jari, bukan kaki). That mean is DUA. Ya, seumur-umur aku baru pacaran 2 kali (yang mau ketawa silakan ketawa.. ketawa sepuas-puasnya! Aku tusuk dari belakang pake keris baru mampus!).

Ada 2 alasan kenapa aku nulis tentang ini (pacaran) di sini:

Pertama, sewaktu pulang kampus aku sempet mampir ke Gramed (ya, aku emang kutubuku), entah kenapa kebetulan banget di sana pengunjungnya pada berpasang-pasangan. Sewaktu aku lagi ngeliat buku Naked Traveler, ada sepasang muda mudi di sebelahku. Lalu aku tak sengaja mendengar percakapan mereka.

Cewek: Ayang, buku ini bagus lho!
Cowok: Iya po?
Cewek: Iya. Kata temenku sih bagus.
Cowok: Kayaknya biasa aja deh.
Cewek: Kata temenku, Ayang.

Hal pertama yang terlintas di pikiranku setelah mendengar percakapan mereka: IBUNYA SI COWOK NGGAK KREATIF. Masak anak laki-laki dikasih nama “Ayang”. Kayak gak ada nama lain yang lebih maskulin. Atau mungkin dulu ibunya ngelahirin sambil kayang? Hmm.
Setelah itu mereka berdua berjalan menjauh dariku. Sambil bergandengan tangan. Aku memandang mereka berjalan bergandengan. Terus memandang. Sampai tau-tau, aku ngiler satu ember. Aku hanya bisa berimajinasi “Kayaknya kog enak ya pacaran?”.

Kedua, karena aku lagi jomblo. Well, alasan yang ke-dua ini adalah alasan yang PALING KANCUT. You know Kancut??? Yang namanya ngejomblo itu KANCUT..... KANCUT KANCUT KANCUT!!!

Maaf, terlalu emosional.

Ya, karena aku lagi jomblo, aku jadi pengen ngaca tentang hal yang pernah aku lakuin.

Okey, sekarang masuk ke topik utama. Aku akan coba untuk, ehm, sedikit serius.

***

Pacaran.

Pacaran secara etimologi berasal dari kata dasar “Pacar”. Pacar dalam KBBI artinya:  
 “teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih.

Yang perlu di garis bawahi adalah lawan jenis. Jadi, pacar haruslah lawan jenis. Maka jika ada yang bilang “Eh Fahmi punya pacar cowok”, itu salah besar. Sekali lagi, ITU SALAH BESAR! Lagian juga aku nggak pernah punya pacar cowok. Aku punyanya cowok simpenan (lho?).

Aku yakin, semua orang yang pernah, sedang, ataupun akan berpacaran, pasti pernah merasakan ini: jatuh cinta.

Oh God, jiwaku melayang menembus awan menulis kata “jatuh cinta”.

Ehm, maaf lebay.

Aku selalu yakin itu. Pacaran adalah tahapan dalam sebuah hubungan setelah  sebelumnya saling jatuh cinta. Jatuh cinta sendiri, kita semua pasti tahu, bahwa ia adalah hal yang absurd. Jatuh cinta adalah sesuatu yang aneh. Mungkin bisa disebut juga abstrak. Nha tentang pacaran, pacaran adalah suatu bentuk usaha untuk membuat yang absurd dan abstrak itu menjadi lebih konkret. Atau dengan kata lain, pacaran adalah manifestasi dari jatuh cinta.

Kalo buatku sendiri, pacaran adalah usaha untuk mengikat, agar aku dan dia (baca: Kamidia Radisty... AMIN) terikat satu sama lain, terikat dengan tali yang absurd (baca: cinta dan kasih). Sama-sama terikat agar tidak pindah, ke lain hati. Tapi namanya juga ikatan, selalu ada resiko yang menyertainya. Putus.

Oh, mungkin di luar sana ada orang yang bilang “Kenapa harus dengan pacaran?”

Yak, cinta memang gak harus disalurkan dengan pacaran. Bisa juga langsung nikah. Tapi aku tidak ingin membicarakan menikah di sini. Itu masih jauuuuuhhhh. Untuk saat ini, dengan umur 19 tahun, pacaran masih menjadi primadona untuk menyalurkan, ehm, cinta. Dalam hal yang positif tentu saja. Yang jelas, bukan seks.

Menyalurkan cinta dengan pacaran dalam hal yang positif, menurutku banyak pengartiannya. Seperti alasan pertama kenapa aku menulis tentang ini, ngeliat orang pacaran di toko buku, oh-so-sweet-banget. Kita bisa menjadikan pacar sebagai pelecut semangat untuk terus melangkah ke depan. Karena pacar yang baik itu selalu menyemangati pasangannya. Semua yang pernah pacaran pasti tahu, semangat yang diberikan pacar selalu lebih ampuh dibanding dengan siapapun.

Sekali lagi, kita bisa “memanfaatkan” pacar untuk semua hal yang bersifat positif. Sayangnya, “positif” itu ternyata sesuatu yang relatif.

***

Aku nggak bisa memungkiri, selama aku menulis ini, pikiranku mengawang ke belakang. Ke masa lalu yang tidak terlalu lampau. Di mana aku masih terikat status pacaran. Aku coba menoleh ke belakang, berusaha introspeksi, untuk menemukan jawaban dari judul postingan ini.

Dan, aku mendapatkan sedikit pelajaran.

Pelajaran pertama, bahwa pacaran itu memiliki “akhir”. Dan akhir itu tidak bisa diprediksi. Bisa berakhir bahagia, ke pelaminan. Bisa juga berakhir di tengah jalan, putus. Untuk akhir yang pertama jelas aku belum pernah ngerasain. Untuk akhir yang ke-dua, jangan tanya.

Yang jelas, awal masa pacaran dengan akhir masa pacaran (baca: gagal) itu sangat berbeda jauh. Akhir masa pacaran, atau putus itu rasanya nggak enak banget. Rasanya itu kayak........ kayak apa ya? Gitu deh, kayak habis punya pacar terus tiba-tiba jomblo.

Hal itu sangat berbeda dengan awal masa pacaran. Di awal-awal masa pacaran semuanya serba seneng. Semuanya serba indah. Rasanya kayak...... kayak habis jomblo terus tiba-tiba punya pacar.

Itu pelajaran pertama. Bahwa pacaran tidaklah bersifat selamanya. So, keep on balance aja kalo lagi pacaran.

Yang kedua. Pacaran membuat sebuah hubungan menjadi lebih kompleks.

Aku pernah bertanya kepada 10 pasangan (pacar) apa hubungan mereka sebelum memutuskan untuk terikat dalam pacaran. Jawabannya semua sama: TEMAN.

Ya, sebelum berpacaran, kebanyakan pasangan terjalin dalam “hubungan teman” terlebih dahulu. Gak mungkin ada orang yang baru kenal tiba-tiba langsung jadi pacar. Dan gak mungkin ada orang kenalan seperti ini:

“Hai, kenalin, namaku Fahmi, mau nggak jadi pacarku?”

Satu-satunya yang mau dijadikan pacar dengan cara seperti itu adalah nenek-nenek 70 tahun yang masih menstruasi.

Entah akurat atau tidak, sepanjang pengetahuanku, perpacaran selalu didahului oleh pertemanan. Karena itu juga yang pernah aku alamin. Dan perpindahan status dari teman ke pacar membawa dampak perubahan yang signifikan dalam sebuah hubungan. Contoh simpelnya:
  • Sewaktu masih jadi temen, gak SMS sehari tentu bukan masalah. Tapi kalo udah jadi pacar, gak dapet SMS dari do’i sehari aja pasti langsung berpikir “Kog dia nggak SMS ya? Jangan-jangan dia udah bosen sama aku? Jangan-jangan dia selingkuh?” Lalu akhirnya mencoba menenangkan diri dengan berpikir positif “Ah paling dia lagi nggak punya pulsa”.
Aku tidak bisa mengukur seberapa besar kompleksitas yang disebabkan transformasi dari teman ke pacar. Yang jelas ada perubahan. Mungkin buat kamu yang kebetulan baca tulisan ini dan kebetulan kamu berpengalaman dalam pacaran, silakan berbagi pengalaman perubahannya di sini. :)

Aku selalu suka dan senang mendengarkan cerita bagaimana dua orang bisa jadian.

***

Yak, mungkin segini dulu postingan sampah saya kali ini.

Sebagai catatan: di sini aku nggak mengatakan bahwa aku membenci pacaran. Justru sebaliknya. Namun aku juga bukan termasuk orang yang “gila-gilaan” atau ngebet banget berpacaran. Jomblo memang kancut, tapi pacaran bisa jadi lebih kancut lagi.

Nikmati saja hidup kita, baik lagi single maupun double :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar