Minggu, 25 Desember 2011

Sepedamania

Review minggu kemarin..

Ehm, pertama-tama, aku mau ngucapin SELAMAT HARI NATAL buat semuanya yang ngerayain. ^^
Buat sahabat-disfungsionalku, Shera, met ngerayain natal ya.. Bagi-bagi hadiahnya donk.. hehe..

Kedua, aku mau ngucapin terima kasih kepada salah seorang temen bernama Ani (bukan nama samaran) yang kemarin telah bersedia menjadi temen maen sepeda dan temen ngobrol (ngobrol ngalor-ngidul gak jelas).
Minggu lalu tak banyak cerita yang berarti. Seminggu hidupku berlalu begitu saja. Kuliah-pulang-makan-pup-tidur. Di sini aku mau cerita apa yang aku lakuin hari jum’at kemarin.

And here goes..

***

Cerita bermula di hari Jum’at siang sehabis jum’atan, di ruang A 203 di kampus FIB UGM. Saat itu aku lagi kuliah Linguistik Indonesia 2. Saat dosennya lagi mangap-mangap di depan, aku nyobek selembar kertas, aku kasih tulisan:

“Ratna, ntar malem ngajakin Ani  sepedahan yok?”
*sepedahan: maen sepeda.

Lalu kertas berisi tulisan tersebut aku lempar ke Ratna yang duduk PERSIS di sebelahku. Kertasnya Ratna terima, dia baca sekejap, terus dia bilang “Kamu SMS sendiri aja Mi!”.

Aku jawab “Aku nggak punya pulsaAa” (dengan gaya iklan kartu As).

Ratna adalah salah satu temen yang gak berguna di kampus. Dia punya temen lagi yang namanya Ani. Nha si Ani ini termasuk temen yang doyan maen sepeda. Makanya aku ngajakin dia.  Dia juga pernah aku ceritain di Notes di FB yang aku kasih judul CLBK Part II.

Jadi ceritanya kemarin jum’at itu aku lagi selo banget alias nganggurdotkom. Maka untuk ngisi kekurangkerjaan tersebut aku inisiatif untuk maen sepeda. Awalnya aku ngajak Ratno, temen sekelas  yang punya sepeda, tapi dia gak bisa, katanya sepedanya lagi gak fit. Aku juga ngajak Shin, seorang temen dari Korea yang pernah bilang suka maen sepeda, tapi ternyata dia ada jadwal maen futsal. Akhirnya aku ngajakin Ani lewat SMS. Yang aku bilang ke Ratna nggak punya pulsa tentu saja bohongan. Hari gini gak punya pulsa? Ke DPR aja lo.

Aku SMS ke nomornya Ani “Ani, sepedahan yok?”

Sent.

Gak sampe 3 menit, Ani ngebales.

“Ayok kpn?”

“Ntar malem gimana?”

“Ayok”

Singkat kata setelah SMSan sebentar kita lalu janjian ketemu di Bunderan UGM jam setengah 8 malem.

Pukul 19.30 waktu Jogja @bunderan UGM.

“Weiss.. Keren banget sepedanya.” Ani berkomentar begitu ngeliat sepeda fixie yang aku pake. Aku senyum-senyum najong. Ani melanjutkan “Nyolong di mana Mi?”

Kampret.

“Nyolong punya temen. Hehe..” aku jawab sekenanya.

Oh ya, aku juga mau ngucapin terima kasih kepada temen bernama Alip yang meminjamkan sepeda fixie-nya yang keren sehingga membuatku ikutan keren. Huehehe...

“Oke, sekarang kita mau jalan ke mana?” aku bertanya ke Ani.
“Lah, yang ngajakin maen sepeda siapa?”
“Oh ya lupa” jawabku sotoy. “Emm.. yang penting jangan lewat Malioboro ya, di sana lagi rame banget jalannya”
“Iya, menjelang Natal sih”
“Kalo muter Ring Road gimana? Kuat nggak kamu?”
“Oke, siapa takut”
“Beneran kuat?”
“Siapa takut!”

Akhirmya inilah rute bersepeda kita: Bunderan UGM-perempatan Sagan-jalan Colombo (depan UNY)-jalan Gejayan (ke utara)-Ring Road utara (bergerak ke barat)-perempatan Jombor-jalan Magelang (ke selatan)-perempatan Pingit-lurus (nama jalannya aku lupa)-Sarkem-Kota Baru-Muterin Kridosono-Lewatin rumah Es Krim Mirota-balik lagi ke Bunderan UGM.

Total jarak yang kita tempuh mencapai 367 km. *ekstrim. Yah gak se-ekstrim itu, mungkin cuma 20an km. Cukup lah untuk bisa disebut olahraga. Dan yang paling penting, aku jadi nggak nganggur. Mehehe...

Maen sepeda malem-malem di Jogja itu rasanya, kayak terbang menembus atmosfer berlapis-lapis, naek paus akrobatis, menuju rasi bintang paling manis, terus nangis sambil pipis. (ngomong opo koe Mi?). Intinya sih menyenangkan. Apalagi ditemenin cewek imut. Hihihi.

Selama perjalanan muter-muter Jogja kita ngobrolin banyak hal. Dari mulai yang nggak penting seperti fitnahan orang kalo aku homo (sumpah ini nggak penting banget). Sampai ke obrolan yang sangat nggak penting seperti: HARGA ES KRIM WALL’S NAIK.

Berikut cuplikan percakapannya.

Ani       : Eh Mi, kata Ratna kamu homo ya?
Fahmi  : ANJRIT, fitnah tu Ratna. Gak lah. Sumpah aku normal.
Ani       : Tapi kata Ratna kamu sukanya maen sama cowok.
Fahmi  : Lah, itu kan wajar. Ntar kalo aku maennya sama cewek malah dikira bencong.
Ani       : Hahaha.
Fahmi  : Emang susah kalo jadi cowok ganteng.
Ani       : Zzzzztttt...

Iya, aku kadang ngerasa serba salah dalam pergaulan. Kalo lagi maen/kumpul sama cowok dikira homo. Tapi kalo kebanyakan maen/kumpul sama cewek malah dikira bencong. Mending bikin negara sendiri aja kalo gitu.

Dan berikut percakapan sewaktu ngelewatin Roemi (Roemah Mirota) atau rumah es krim.

Fahmi  : Eh di situ makanannya enak-enak lho.
Ani       : Iya. Aku suka banget sama es krimnya.
Fahmi  : Kalo aku paling suka sama nasi ayam papricanya. Tapi sayang sekarang harganya udah naik.
Ani       : Naik gimana?
Fahmi  : Dulu kan delapan ribu harganya, sekarang jadi sepuluh ribuan.
Ani       : Emang delapan ribu itu pas kapan?
Fahmi  : Taun kemarin.
Ani       : ITU MAH UDAH LAMA!
Fahmi  : Eh ngomong-ngomong es krim, kamu tau nggak? Sekarang es krim wall’s harganya naik lho.
Ani       : Iya? Yang apa?
Fahmi  : Itu yang Feast.
Ani       : Yang 2500 itu ya?
Fahmi  : TIGA RIBU!!
Ani       : Oh udah naik?
Fahmi  : DARI DULU EMANG TIGA RIBU! Sekarang baru naik.
Ani       : Jadi berapa?
Fahmi  : Empat ribu.
Ani       : Ooh.
Fahmi  : Kayaknya kita perlu demo ke DPR.
Ani       : Ngapain?
Fahmi  : Minta turunin harga lah. Ntar kita tereak-tereak “TURUNKAN HARGA ES KRIM!! TURUNKAN HARGA ES KRIM!!”
Ani       : Zzzzttt.

*Penting abis.

Ini lho es krim yang jadi pergunjingan:
Kenapa hargamu naik, oh es krim..
Selain obrolan-obrolan yang nggak penting tadi, kita juga ngobrolin banyak hal lain yang nggak kalah nggak penting. Tentang keluarga, tentang agama, tentang sepeda, tentang kita sama-sama habis ketemu artis (aku habis ketemu Deddy Mizwar sedangkan Ani habis ketemu Nicholas Saputra), tentang beasiswa, sampai menyinggung soal pacar (Ani udah punya pacar). Ya, aku emang doyan banget ngobrol. Atau lebih tepatnya: nge-gosip.

Dan ketika aku nulis ini, ketika aku coba mengingat apa-apa yang aku obrolin sama Ani, aku jadi inget, kemarin kayaknya aku aktif banget ngobrolnya (baca: cerewet). Aku juga baru sadar, ternyata sebagai cowok, aku cukup rempong. Tapi sumpah demi apapun juga, aku nggak homo. Aku juga bukan bencong, meski agak rempong. Aku bukan dua-duanya; aku bukan Bencong-Homo.

Aku adalah lelaki sejati, yang suka makan Choki-choki.

***
PS: Kelamaan duduk di jok/sedel sepeda (4 jam) membuat bokong saya susah buang air besar.

Rabu, 21 Desember 2011

Ketemu Penulis Idola


Rabu, 14 Desember 2011.
Seminggu yang lalu...


Pagi itu tak seperti biasanya, aku bisa bangun jam 04.30 subuh (biasanya bangun jam 8). Tak biasanya juga, jam 06.30 aku berada di bandara (biasanya jam segitu masih nge-date sama Kamidia Radisty, di mimpi). Ya, pagi itu memang nggak biasa. Karena pagi itu aku akan bertemu dengan orang yang luar biasa.

Pukul 06.30 waktu Jogja, aku berdiri dengan antusias di depan Pintu Kedatangan di bandara Adi Sutjipto. Kedua tanganku mengangkat selembar kertas folio bertuliskan “A. FUADI”. A. Fuadi, itulah orang luar biasa yang ku maksud. Bukan Anwar Fuadi artis seyneytron itu loh ya. A. Fuadi di sini adalah Ahmad Fuadi, penulis buku (yang menurutku) luar biasa; Negeri 5 Menara. Buat yang suka buku-buku inspirasi pasti tau buku itu.

Pesawat yang ditumpangi A. Fuadi dijadwalkan tiba di Jogja pukul 06.55. Dan aku menunggu dengan sangat excited.

Penjemputan ini adalah bagian dari tugasku sebagai panitia Talkshow Etnika Fest yang diadain sama LEM FIB UGM (baca postingan Etnika Fest FIB UGM). Di kepanitian itu aku dapet tugas dari Tika Musfita (baca: Boss, selaku Penanggung Jawab acara) untuk jadi LO alias pendamping bintang tamu, yaitu A. Fuadi. Aku langsung seneng banget pas dapet tugas itu. A. Fuadi adalah seorang penulis yang aku kagumi. Buku-bukunya dia termasuk salah satu daftar favoritku, bersama buku-buku favorit lain dari Andrea Hirata, Raditya Dika, Dewi Dee Lestari, dan Dan Brown. Mendapat kesempatan bertemu secara “eksklusif” dengan dia adalah sebuah keuntungan menjadi panitia.

Ketika jam menunjuk 06.45, aku SMS mas Sinwani, orang yang ngedampingin bang Fuadi ke Jogja. *aku menyebut ‘Bang Fuadi’ karena ngikut keterangan yang ada di halaman akhir buku Negeri 5 Menara. Di sana dituliskan Bang Fuadi sebagai panggilan untuk A. Fuadi. Yah, nggak mungkin juga kan aku manggil dia Tulang Fuadi? (NGAPAIN JUGA??).

“Mas, saya tunggu tepat di depan pintu kedatangan. Saya pake kaos kuning dan pake kacamata. Terima kasih”

Sent.

Ternyata pending. Mungkin dia masih di dalam pesawat sehingga handphone dimatiin. Beberapa hari sebelumnya aku sudah SMS-an sama mas Sinwani terkait informasi mengenai acara Talkshow Etnika Fest FIB UGM.

Baru tepat di jam 07.00, SMS ke mas Sinwani terkirim. Sebentar kemudian dia ngebales:
“Terima kasih atas infonya. Kami baru landing, tunggu sebentar ya”

Aku semakin excited.

Aku ngebayangin bagaimana bentuk fisik bang Fuadi. Aku membayangkan, beliau pasti orangnya berwibawa, rapih, rambut belah tengah dan juga pake kacamata (seperti foto-fotonya yang ada di internet), terus posturnya tinggi.

Akhirnya saat yang ditunggu pun tiba. Seorang pria agak kurus dan lumayan tinggi nyamperin aku sambil nunjuk “Mas Fahmi ya?”

“Ehh, iya. Mas Sinwani?”

Lalu kita berjabat tangan.

Sedetik kemudian dari belakang mas Sinwani datang seorang pria yang langsung ikutan salaman denganku.

“Bang Fuadi ya?” tanyaku pada pria yang baru datang itu, dalam hati: akhirnya ya Tuhan, akhirnya. “Saya Fahmi. Saya yang akan jadi pendamping abang.” lanjutku masih berjabat tangan. *jangan artikan ‘pendamping’ di sini sebagai homo!

Ternyata memang benar dugaanku. Bang Fuadi orangnya emang keliatan berwibawa, rapih, rambut belah tengah+pake kacamata persis seperti yang di internet, tapi untuk tinggi badan dugaanku salah. Dia nggak lebih tinggi dari pada aku. *hahaha.

Kita lalu berjalan menuju mobil.

“Bagaimana bang tadi perjalanannya?” tanyaku sambil berjalan di sebelahnya.

“Alhamdulillah lancar. Meskipun tadi harus berangkat pagi banget.” jawabnya dengan kedua tangan sibuk mencet-mencet blekberi. “Kemarin katanya temen-temen FIB juga ngundang Deddy Mizwar ya? Gimana itu acaranya? Rame?” dia tanya balik.

“Oh iya bang kemarin kita juga ngundang Deddy Mizwar sama Ifa Isfansyah. Alhamdulillah acaranya rame.”

“Hebat juga ya temen-temen FIB bisa ngundang Deddy Mizwar. Padahal beliau orangnya pasti sibuk banget.”

“Hehe.. Ya gitu bang” aku memasang senyum siapa dulu.... FIB.

Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit aku bisa langsung tau kalo Bang Fuadi ini orangnya ramah banget. Sebelumnya aku berpikir, orang yang sudah punya nama “se-gede” dia biasanya males diajak ngobrol basa-basi (dan kadang gak penting) sama bocah semacam aku. Kesan “males” itu sama sekali nggak aku tangkep dari Bang Fuadi. Justru dia yang lebih sering ngajak ngobrol duluan. Hal itu malah membuatku jadi sedikit kikuk dan grogi.

Dari bandara, dengan mobil disetirin sama temenku bernama Ari, kita menuju ke University Club (UC) Resto UGM. Jadwalnya adalah nemenin bang Fuadi dan mas Sinwani (asistennya) sarapan.

Kemudian di sini lah kita ber-empat, duduk dalam satu meja makan di UC Resto UGM. Aku duduk di sebelah bang Fuadi, di depan kita ada mas Sinwani dan Ari yang sibuk ngambil foto dengan D-SLRnya. Rasanya lucu ya? Suatu hari kamu terkagum-kagum membaca buku karya seseorang. Bahkan sampe cukup mempengaruhi kehidupan kamu (dengan positif). Kemudian di hari yang lain kamu bisa duduk satu meja makan dengan penulisnya. Rasanyaaa...... ah, sekali lagi, tanpa bermaksud untuk menjadi homo, aku mau bilang, bahwa aku termasuk orang yang beruntung banget di hari itu.

Duduk di samping orang “hebat” itu auranya asik banget. Energi-energi positif berasa masuk gitu aja ke pikiran. Beda kalo duduk di samping temen-temenku di kampus (Shera, Adis, Devita, Arya, Imam, Dhilla, Sishek, Rio, Dyas, Ratna, Chipu, Chicha, Febri, Ratno, Sidal, Ari, dan semua temen-temen Sasindo 2010). Kalo duduk bareng mereka (temen-temenku) pasti bawaannya ngegosip melulu. Bener dah, sekali-kali kita emang perlu nyari temen yang pinter, biar ketularan aura pinternya. *Buat temen-temenku yang baca tulisan ini, sorry ya. Bukan berarti aku nganggep kalian nggak hebat. Tapi kalian emang idiot.. :P

Nih foto kita pas di UC:
Bang minta tanda tangannya bang


Okeh, segitu dulu postingan kali ini. Terima kasih buat yang sudah mampir ke blog saya ini.. :)

Oh ya, untuk acara Talkshow Etnika Fest sendiri kemarin bisa dibilang lancar meskipun ada sedikit gangguan dari ‘Kuntilanak gila’. Dan mungkin next time aku ceritain di sini.

Btw, on the other topic, tahun baru semakin dekat, tapi perasaanku malah semakin galau. Bukan karena (kemungkinan besar) aku akan melewatinya dengan status jomblo, tapi karena semakin dekat dengan taun baru berarti juga semakin dekat dengan Ujian Akhir Semester. Oh God, ujian akhiiiirrr... Semester III ini aku dapet tuntutan IP minimal 3 agar beasiswaku tetep jalan. Dan saya mengincar 3,5. Yeah, jahanam 3,5!!!

Kamis, 08 Desember 2011

Biarpun di UGM......


Aku lagi iseng-iseng buka file-file-ku yang lama.
Dan aku menemukan tulisanku waktu dulu masih semester 1 (sekarang semester 3). Waktu itu, waktu aku semester 1, di jurusanku ada acara ngadain lomba nulis buat anak-anak SMA se-Jogja. Lalu aku diminta sama temen untuk ngebuat semacam karangan (lebih tepatnya tulisan nggak jelas) yang isinya tentang jurusanku (Bahasa dan Sastra Indonesia). Yah semacam promosi buat anak -anak SMA biar termotivasi masuk jurusanku gitu.
Dan setelah membaca ulang tulisan itu, aku berpikir, "ANJRIT, tulisanku cacat banget!!"
Tapi kayaknya gak ada salahnya juga aku taroh di sini. hehehe..
Silakan yang mau nyacat..

******
Biarpun di UGM, Yang Penting Sastra Indonesia

Malam ini akan diumumkan hasil seleksi Ujian Masuk (UM) Universitas Gadjah Mada taun ajaran 2010/2011. Aku yang juga ikut UM tersebut jadi harap-harap cemas. Keterima nggak ya? Aku gelisah, resah, perutku nyeri. Eh bentar, ini nunggu pengumuman apa mau mens? Intinya gitu deh, aku deg-degan. Lagian juga nggak mungkin aku mens, aku kan cowok.

***

Di UM ini, 3 pilihan jurusan yang aku ambil yaitu: 1. Ilmu Komunikasi, 2. Sastra Inggris, 3. Sastra Indonesia. Alasan kenapa aku mengurutkan pilihanku seperti itu adalah:

1.      Pertama, aku milih Komunikasi karena aku bercita-cita jadi presenter, biar punya public speaking yang bagus.
2.      Kedua, Sastra Inggris, biar bisa ngomong yang keren kayak Cinta Laura.
3.      Ketiga, itu pilihan temenku. Kata temenku: “pilihan ketiga itu gradenya harus di bawah pilihan pertama dan kedua, jadi kamu isiin itu (Sastra Indonesia) aja”. Karena aku tipe cowok yang nurut sama temen (baca: nggak punya pendirian), maka pilihan ketiga aku isi Sastra Indonesia. Rasanya, hina banget ya Sastra Indonesia itu? Aku jadi ngebayangin, kalo ketiga pilihan tersebut berubah menjadi 3 cewek bersaudara yang tinggal serumah; si “Ilmu Komunikasi” pasti kerjaannya mandi air hangat dengan manja, si “Sastra Inggris” sukanya nonton film Korea, dan si “Sastra Indonesia” hobinya nangis di kamar mandi setelah disiksa sama “Ilmu Komunikasi” dan “Sastra Ingggris”.

Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika aku membuka situs resminya Penerimaan Mahasiswa Baru UGM, pmb.ugm.ac,id. Aku bener-bener deg-degan, tanganku gemetar, kaki juga, mataku jadi putih, lalu aku kesurupan, NGGAK LAH. Begitu kulihat hasilnya, tiba-tiba terjadi gempa yang sangat dahsyat, gunung meletus, manusia berterbangan bagai anai-anai. HUUAAAAA.... aku nggak bisa menerima kenyataan aku keterimanya di SASTRA INDONESIA. Dalam hati aku menjerit “MAMA, KENAPA SASTRA INDONESIA MA?? KENAPA?? KENAPA MAMA??”. Aku stress mendadak.

Masih dalam kondisi stress, aku baca bagian akhir pengumuman tersebut yang intinya tu gini: “kalo elo keterima di salah satu Program Studi terus elo nggak registrasi, maka elo kehilangan hak jadi mahasiswa UGM 3 taun ke depan, ampyuunn deh booo..”. Ini berarti kalo aku nggak ngambil Sastra Indonesia itu maka aku akan kehilangan hak untuk masuk ke UGM 3 taun selanjutnya. Mampus. Aku nyesel, nggak mikirin mateng-mateng sebelum ngisi 3 pilihan tersebut. Akhirnya, mau nggak mau aku masuk ke Sastra Indonesia.

***
Setelah melakukan registrasi dan tetek bengeknya, resmilah aku menjadi “Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada”. Apakah aku bangga? iya, karena dapet status ‘mahasiswa UGM’. Apakah aku minder? iya juga, karena Sastra Indonesia bukanlah pilihan utamaku. Kalo ada orang nanya “kuliah dimana mas?”, aku akan jawab dengan lantang “UGM DONKK!!”. Ditanya lagi “jurusan apa?”, “sastra indonesia” jawabku berbisik. Aku merasa Sastra Indonesia bukanlah jurusan yang keren. Tapi setidaknya, biarpun Sastra Indonesia, yang penting UGM.

Tiba saatnya kuliah perdana.

Di kelas kita yang pertama ini, aku mendapati beberapa manusia yang terasa “asing” di mataku. Ada yang rambutnya pirang, ada yang matanya sipit, ada yang kumisnya nyambung sama alis. Untuk yang terakhir, aku bercanda. Mereka ini, mereka yang keliatan asing di mataku, adalah orang-orang yang bukan berasal dari Indonesia. Mereka bule. Aku bertanya-tanya dalam dengkul hati, kenapa mereka ada di sini? Siapa mereka? Apakah mereka adalah anak hasil hubungan gelap TKI dengan majikannya? Atau, apakah mereka adalah orang Jawa yang keseringan maen layangan? Aku jadi penasaran.

Selesai kuliah, aku mencoba kenalan sama salah 2 cewek “asing” yang barusan ikut kuliah bareng. Aku ajak kenalan dan kemudian ngobrol-ngobrol bentar. Dari kenalan dan obrolan tersebut, ini hasilnya: 2 cewek itu bernama Yu Mi dan Yu Jin, mereka dari Korea Selatan, mereka adalah mahasiswi sebuah universitas yang ada di Korsel sana (Hankuk University), dan mereka datang ke Indonesia untuk BELAJAR BAHASA INDONESIA. Parah men, aku aja yang asli pribumi masuk ke Sastra Indonesia hanya gara-gara tidak beruntung. Tapi mereka, Yu Mi dan Yu Jin (dan bule-bule lain yang aku belum sempet kenalan), jauh-jauh merantau dari negaranya, naik ojek, datang ke Jogja, ke UGM, untuk BELAJAR BAHASA INDONESIA. Oh, aku terharu.

***
Waktu terus berjalan. Kadang terasa lambat kayak suster ngesot. Dan kadang terasa cepat seperti pocong (ya, pocong sebenernya nggak cepet-cepet amat jalannya. Tapi kalo disuruh balapan sama suster ngesot pasti menangan dia). Tak terasa satu semester sudah terlewatkan. Selama itu pula aku melihat betapa mahasiswa-mahasiswa ‘asing’ sangat bersemangat mempelajari Bahasa dan Sastra Indonesia. Jauh lebih bersemangat dari aku. Kenapa mereka tertarik mempelajari itu?

Sampai sini, aku mulai berpikir. Ternyata jurusan yang aku anggap nggak keren ini justru diminati oleh orang-orang dari luar negeri. Pikiranku menerawang jauh.

Apakah yang akan terjadi pada bangsa ini seandainya semua orang berpikiran sama denganku? Yang merasa minder untuk mempelajari bahasanya sendiri dan lebih merasa bangga jika mampu menguasai bahasa asing.

Pikiranku menerawang lebih jauh lagi. Mungkin yang akan terjadi:

Bangsa kita akan kehilangan jatidiri. Ya, kita akan kehilangan jatidiri karena bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Yang lebih ekstrim, mungkin di kemudian hari bangsa kita akan dijajah oleh Yu Mi dan Yu Jin.

Dari pemikiranku itu, aku jadi menyesal. Menyesal karena pernah menyesali masuk ke Sastra Indonesia. Aku menyesali apa yang aku sesalkan. Mampus, aku pusing sendiri. Intinya, sekarang aku justru bangga menjadi bagian dari Sastra Indonesia. Apalagi ketika kuliah dengan mahasiswa-mahasiswa asing, aku merasa keren. Muehehehe.

Terlepas dari bangga dan keren menjadi bagian dari keluarga Sastra Indonesia, telah tumbuh satu niat dalam diriku (dan aku yakin temen-temen lain juga sama) untuk serius mempelajari Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang, ideologiku yang "biarpun Sastra Indonesia yang penting UGM” berubah menjadi “BIARPUN DI UGM, YANG PENTING SASTRA INDONESIA”.