Ehm, sebelumnya harap jangan membaca judul postingan ini dengan
gaya bencong (biasanya ditambah kelingking ngetril di atas keyboard).
Sudah membaca judulnya dengan gaya biasa?
Oke, terima kasih.
*Gak penting. :D
Hmm... Sebenernya aku paling takut nulis ataupun berbicara tentang “pacaran”,
soalnya pasti akan menjurus ke cinta-cintaan. You know, nulis
tentang cinta, bagi saya, itu bagaikan ngajak bule America jalan-jalan ke
Washington, bagaikan ngajak orang Jakarta jalan-jalan ke Monas, bagaikan ngajak
orang Jogja jalan-jalan ke Sarkem. Aku ngomong tentang sesuatu yang aku sendiri
belum paham betul, dan belum berpengalaman. Singkat kalimat: AKU NGGAK NGERTI TENTANG
CINTA.
Tentang pacaran juga, aku bukan cowok yang expert dalam hal
pacar memacar. Jumlah cewek yang tidak beruntung pernah aku pacarin
nggak lebih dari jumlah jari tangan kepiting (jari, bukan kaki). That mean
is DUA. Ya, seumur-umur aku baru pacaran 2 kali (yang mau ketawa silakan
ketawa.. ketawa sepuas-puasnya! Aku tusuk dari belakang pake keris baru mampus!).
Ada 2 alasan kenapa aku nulis tentang ini (pacaran) di sini:
Pertama, sewaktu
pulang kampus aku sempet mampir ke Gramed (ya, aku emang kutubuku), entah
kenapa kebetulan banget di sana pengunjungnya pada berpasang-pasangan. Sewaktu
aku lagi ngeliat buku Naked Traveler, ada
sepasang muda mudi di sebelahku. Lalu aku tak sengaja mendengar percakapan
mereka.
Cewek:
Ayang, buku ini bagus lho!
Cowok:
Iya po?
Cewek:
Iya. Kata temenku sih bagus.
Cowok:
Kayaknya biasa aja deh.
Cewek: Kata temenku, Ayang.
Hal pertama yang terlintas di pikiranku setelah mendengar
percakapan mereka: IBUNYA SI COWOK NGGAK KREATIF. Masak anak laki-laki dikasih
nama “Ayang”. Kayak gak ada nama lain yang lebih maskulin. Atau mungkin dulu ibunya
ngelahirin sambil kayang? Hmm.
Setelah itu mereka berdua berjalan menjauh dariku. Sambil
bergandengan tangan. Aku memandang mereka berjalan bergandengan. Terus
memandang. Sampai tau-tau, aku ngiler satu ember. Aku hanya bisa berimajinasi “Kayaknya
kog enak ya pacaran?”.
Kedua, karena aku lagi
jomblo. Well, alasan yang ke-dua ini adalah alasan yang PALING KANCUT. You
know Kancut??? Yang namanya ngejomblo itu KANCUT..... KANCUT KANCUT
KANCUT!!!
Maaf, terlalu emosional.
Ya, karena aku lagi jomblo, aku jadi pengen ngaca tentang
hal yang pernah aku lakuin.
Okey, sekarang masuk ke topik utama. Aku akan coba untuk, ehm,
sedikit serius.
***
Pacaran.
Pacaran secara etimologi berasal dari kata dasar “Pacar”. Pacar dalam
KBBI artinya:
“teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan
berdasarkan cinta kasih”.
Yang perlu di garis bawahi adalah lawan jenis. Jadi,
pacar haruslah lawan jenis. Maka jika ada yang bilang “Eh Fahmi punya pacar
cowok”, itu salah besar. Sekali lagi, ITU SALAH BESAR! Lagian juga aku nggak
pernah punya pacar cowok. Aku punyanya cowok simpenan (lho?).
Aku yakin, semua orang yang pernah, sedang, ataupun akan
berpacaran, pasti pernah merasakan ini: jatuh cinta.
Oh God, jiwaku melayang menembus awan menulis kata “jatuh cinta”.
Ehm, maaf lebay.
Aku selalu yakin itu. Pacaran adalah tahapan dalam sebuah
hubungan setelah sebelumnya saling jatuh
cinta. Jatuh cinta sendiri, kita semua pasti tahu, bahwa ia adalah hal yang absurd.
Jatuh cinta adalah sesuatu yang aneh. Mungkin bisa disebut juga abstrak. Nha
tentang pacaran, pacaran adalah suatu bentuk usaha untuk membuat yang absurd
dan abstrak itu menjadi lebih konkret. Atau dengan kata lain, pacaran
adalah manifestasi dari jatuh cinta.
Kalo buatku sendiri, pacaran adalah usaha untuk mengikat, agar aku
dan dia (baca: Kamidia Radisty... AMIN) terikat satu sama lain, terikat dengan
tali yang absurd (baca: cinta dan kasih). Sama-sama terikat agar tidak pindah,
ke lain hati. Tapi namanya juga ikatan, selalu ada resiko yang menyertainya.
Putus.
Oh, mungkin di luar sana ada orang yang bilang “Kenapa harus dengan
pacaran?”
Yak, cinta memang gak harus disalurkan dengan pacaran. Bisa juga
langsung nikah. Tapi aku tidak ingin membicarakan menikah di sini. Itu masih
jauuuuuhhhh. Untuk saat ini, dengan umur 19 tahun, pacaran masih menjadi
primadona untuk menyalurkan, ehm, cinta. Dalam hal yang positif tentu saja.
Yang jelas, bukan seks.
Menyalurkan cinta dengan pacaran dalam hal yang positif, menurutku
banyak pengartiannya. Seperti alasan pertama kenapa aku menulis tentang ini, ngeliat orang
pacaran di toko buku, oh-so-sweet-banget. Kita bisa menjadikan pacar
sebagai pelecut semangat untuk terus melangkah ke depan. Karena pacar yang baik
itu selalu menyemangati pasangannya. Semua yang pernah pacaran pasti tahu, semangat
yang diberikan pacar selalu lebih ampuh dibanding dengan siapapun.
Sekali lagi, kita bisa “memanfaatkan” pacar untuk semua hal yang
bersifat positif. Sayangnya, “positif” itu ternyata sesuatu yang relatif.
***
Aku nggak bisa memungkiri, selama aku menulis ini, pikiranku
mengawang ke belakang. Ke masa lalu yang tidak terlalu lampau. Di mana aku
masih terikat status pacaran. Aku coba menoleh ke belakang, berusaha
introspeksi, untuk menemukan jawaban dari judul postingan ini.
Dan, aku mendapatkan sedikit pelajaran.
Pelajaran pertama,
bahwa pacaran itu memiliki “akhir”. Dan akhir itu tidak bisa diprediksi. Bisa
berakhir bahagia, ke pelaminan. Bisa juga berakhir di tengah jalan, putus.
Untuk akhir yang pertama jelas aku belum pernah ngerasain. Untuk akhir yang
ke-dua, jangan tanya.
Yang jelas, awal masa pacaran dengan akhir masa pacaran (baca:
gagal) itu sangat berbeda jauh. Akhir masa pacaran, atau putus itu rasanya
nggak enak banget. Rasanya itu kayak........ kayak apa ya? Gitu deh, kayak
habis punya pacar terus tiba-tiba jomblo.
Hal itu sangat berbeda dengan awal masa pacaran. Di awal-awal masa
pacaran semuanya serba seneng. Semuanya serba indah. Rasanya kayak...... kayak
habis jomblo terus tiba-tiba punya pacar.
Itu pelajaran pertama. Bahwa pacaran tidaklah bersifat selamanya. So,
keep on balance aja kalo lagi pacaran.
Yang kedua.
Pacaran membuat sebuah hubungan menjadi lebih kompleks.
Aku pernah bertanya kepada 10 pasangan (pacar) apa hubungan mereka
sebelum memutuskan untuk terikat dalam pacaran. Jawabannya semua sama: TEMAN.
Ya, sebelum berpacaran, kebanyakan pasangan terjalin dalam “hubungan
teman” terlebih dahulu. Gak mungkin ada orang yang baru kenal tiba-tiba
langsung jadi pacar. Dan gak mungkin ada orang kenalan seperti ini:
“Hai, kenalin, namaku Fahmi, mau nggak jadi pacarku?”
Satu-satunya yang mau dijadikan pacar dengan cara seperti itu
adalah nenek-nenek 70 tahun yang masih menstruasi.
Entah akurat atau tidak, sepanjang pengetahuanku, perpacaran selalu
didahului oleh pertemanan. Karena itu juga yang pernah aku alamin. Dan
perpindahan status dari teman ke pacar membawa dampak perubahan yang signifikan
dalam sebuah hubungan. Contoh simpelnya:
- Sewaktu
masih jadi temen, gak SMS sehari tentu bukan masalah. Tapi kalo udah jadi
pacar, gak dapet SMS dari do’i sehari aja pasti langsung berpikir “Kog dia nggak
SMS ya? Jangan-jangan dia udah bosen sama aku? Jangan-jangan dia selingkuh?”
Lalu akhirnya mencoba menenangkan diri dengan berpikir positif “Ah paling
dia lagi nggak punya pulsa”.
Aku tidak bisa mengukur seberapa besar kompleksitas yang disebabkan
transformasi dari teman ke pacar. Yang jelas ada perubahan. Mungkin buat kamu
yang kebetulan baca tulisan ini dan kebetulan kamu berpengalaman dalam pacaran,
silakan berbagi pengalaman perubahannya di sini. :)
Aku selalu suka dan senang mendengarkan cerita bagaimana dua orang
bisa jadian.
***
Yak, mungkin segini dulu postingan sampah saya kali ini.
Sebagai catatan: di sini aku nggak mengatakan bahwa aku membenci
pacaran. Justru sebaliknya. Namun aku juga bukan termasuk orang yang
“gila-gilaan” atau ngebet banget berpacaran. Jomblo memang kancut, tapi pacaran
bisa jadi lebih kancut lagi.
Nikmati saja hidup kita, baik lagi single maupun double :)