Aku lagi iseng-iseng buka file-file-ku yang lama.
Dan aku menemukan tulisanku waktu dulu masih semester 1 (sekarang semester 3). Waktu itu, waktu aku semester 1, di jurusanku ada acara ngadain lomba nulis buat anak-anak SMA se-Jogja. Lalu aku diminta sama temen untuk ngebuat semacam karangan (lebih tepatnya tulisan nggak jelas) yang isinya tentang jurusanku (Bahasa dan Sastra Indonesia). Yah semacam promosi buat anak -anak SMA biar termotivasi masuk jurusanku gitu.
Dan setelah membaca ulang tulisan itu, aku berpikir, "ANJRIT, tulisanku cacat banget!!"
Tapi kayaknya gak ada salahnya juga aku taroh di sini. hehehe..
Silakan yang mau nyacat..
******
Biarpun di UGM, Yang Penting Sastra Indonesia
Malam ini akan diumumkan hasil seleksi Ujian Masuk (UM)
Universitas Gadjah Mada taun ajaran 2010/2011. Aku yang juga ikut UM tersebut
jadi harap-harap cemas. Keterima nggak ya? Aku gelisah, resah, perutku nyeri.
Eh bentar, ini nunggu pengumuman apa mau mens? Intinya gitu deh, aku deg-degan.
Lagian juga nggak mungkin aku mens, aku kan cowok.
***
Di UM ini, 3 pilihan jurusan yang aku ambil yaitu: 1. Ilmu
Komunikasi, 2. Sastra Inggris, 3. Sastra Indonesia. Alasan kenapa aku
mengurutkan pilihanku seperti itu adalah:
1.
Pertama, aku milih Komunikasi karena aku bercita-cita
jadi presenter, biar punya public
speaking yang bagus.
2.
Kedua, Sastra Inggris, biar bisa ngomong yang keren
kayak Cinta Laura.
3.
Ketiga, itu pilihan temenku. Kata temenku: “pilihan
ketiga itu gradenya harus di bawah
pilihan pertama dan kedua, jadi kamu isiin itu (Sastra Indonesia) aja”. Karena
aku tipe cowok yang nurut sama temen (baca: nggak punya pendirian), maka
pilihan ketiga aku isi Sastra Indonesia. Rasanya, hina banget ya Sastra
Indonesia itu? Aku jadi ngebayangin, kalo ketiga pilihan tersebut berubah
menjadi 3 cewek bersaudara yang tinggal serumah; si “Ilmu Komunikasi” pasti
kerjaannya mandi air hangat dengan manja, si “Sastra Inggris” sukanya nonton
film Korea, dan si “Sastra Indonesia” hobinya nangis di kamar mandi setelah
disiksa sama “Ilmu Komunikasi” dan “Sastra Ingggris”.
Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika aku membuka
situs resminya Penerimaan Mahasiswa Baru UGM, pmb.ugm.ac,id. Aku bener-bener deg-degan, tanganku gemetar,
kaki juga, mataku jadi putih, lalu aku kesurupan, NGGAK LAH. Begitu kulihat
hasilnya, tiba-tiba terjadi gempa yang sangat dahsyat, gunung meletus, manusia
berterbangan bagai anai-anai. HUUAAAAA.... aku nggak bisa menerima kenyataan
aku keterimanya di SASTRA INDONESIA. Dalam hati aku menjerit “MAMA, KENAPA
SASTRA INDONESIA MA?? KENAPA?? KENAPA MAMA??”. Aku stress mendadak.
Masih dalam kondisi stress, aku baca bagian akhir pengumuman
tersebut yang intinya tu gini: “kalo elo
keterima di salah satu Program Studi terus elo nggak registrasi, maka elo
kehilangan hak jadi mahasiswa UGM 3 taun ke depan, ampyuunn deh booo..”.
Ini berarti kalo aku nggak ngambil Sastra Indonesia itu maka aku akan
kehilangan hak untuk masuk ke UGM 3 taun selanjutnya. Mampus. Aku nyesel, nggak
mikirin mateng-mateng sebelum ngisi 3 pilihan tersebut. Akhirnya, mau nggak mau
aku masuk ke Sastra Indonesia.
***
Setelah melakukan registrasi dan tetek bengeknya, resmilah aku menjadi “Mahasiswa Sastra Indonesia
Universitas Gadjah Mada”. Apakah aku
bangga? iya, karena dapet status ‘mahasiswa UGM’. Apakah aku minder? iya juga, karena Sastra Indonesia bukanlah
pilihan utamaku. Kalo ada orang nanya “kuliah dimana mas?”, aku akan jawab
dengan lantang “UGM DONKK!!”. Ditanya lagi “jurusan apa?”, “sastra indonesia”
jawabku berbisik. Aku merasa Sastra Indonesia bukanlah jurusan yang keren. Tapi
setidaknya, biarpun Sastra Indonesia,
yang penting UGM.
Tiba saatnya kuliah perdana.
Di kelas kita yang pertama ini, aku mendapati beberapa manusia yang terasa “asing” di mataku.
Ada yang rambutnya pirang, ada yang matanya sipit, ada yang kumisnya nyambung
sama alis. Untuk yang terakhir, aku bercanda. Mereka ini, mereka yang keliatan
asing di mataku, adalah orang-orang yang bukan berasal dari Indonesia. Mereka
bule. Aku bertanya-tanya dalam dengkul hati, kenapa mereka ada di sini? Siapa mereka? Apakah mereka adalah anak
hasil hubungan gelap TKI dengan majikannya? Atau, apakah mereka adalah orang
Jawa yang keseringan maen layangan? Aku jadi penasaran.
Selesai kuliah, aku mencoba kenalan sama salah 2 cewek
“asing” yang barusan ikut kuliah bareng. Aku ajak kenalan dan kemudian
ngobrol-ngobrol bentar. Dari kenalan dan obrolan tersebut, ini hasilnya: 2
cewek itu bernama Yu Mi dan Yu Jin, mereka dari Korea Selatan, mereka adalah
mahasiswi sebuah universitas yang ada di Korsel sana (Hankuk University), dan
mereka datang ke Indonesia untuk BELAJAR BAHASA INDONESIA. Parah men, aku aja yang asli pribumi masuk ke
Sastra Indonesia hanya gara-gara tidak beruntung. Tapi mereka, Yu Mi dan
Yu Jin (dan bule-bule lain yang aku belum sempet kenalan), jauh-jauh merantau
dari negaranya, naik ojek, datang ke Jogja, ke UGM, untuk BELAJAR BAHASA
INDONESIA. Oh, aku terharu.
***
Waktu terus berjalan. Kadang terasa lambat kayak suster
ngesot. Dan kadang terasa cepat seperti pocong (ya, pocong sebenernya nggak
cepet-cepet amat jalannya. Tapi kalo disuruh balapan sama suster ngesot pasti
menangan dia). Tak terasa satu semester sudah terlewatkan. Selama itu pula aku
melihat betapa mahasiswa-mahasiswa ‘asing’ sangat bersemangat mempelajari
Bahasa dan Sastra Indonesia. Jauh lebih bersemangat dari aku. Kenapa mereka tertarik
mempelajari itu?
Sampai sini, aku mulai berpikir. Ternyata jurusan yang aku
anggap nggak keren ini justru diminati oleh orang-orang dari luar negeri.
Pikiranku menerawang jauh.
Apakah yang akan
terjadi pada bangsa ini seandainya semua orang berpikiran sama denganku? Yang
merasa minder untuk mempelajari bahasanya sendiri dan lebih merasa bangga jika
mampu menguasai bahasa asing.
Pikiranku menerawang lebih jauh lagi. Mungkin yang akan
terjadi:
Bangsa kita akan
kehilangan jatidiri. Ya, kita akan kehilangan jatidiri karena bahasa merupakan
identitas suatu bangsa. Yang lebih ekstrim, mungkin di kemudian hari bangsa
kita akan dijajah oleh Yu Mi dan Yu Jin.
Dari pemikiranku itu, aku jadi menyesal. Menyesal karena
pernah menyesali masuk ke Sastra Indonesia. Aku menyesali apa yang aku
sesalkan. Mampus, aku pusing sendiri.
Intinya, sekarang aku justru bangga menjadi bagian dari Sastra Indonesia.
Apalagi ketika kuliah dengan mahasiswa-mahasiswa asing, aku merasa keren. Muehehehe.
Terlepas dari bangga dan keren menjadi bagian dari keluarga
Sastra Indonesia, telah tumbuh satu niat dalam diriku (dan aku yakin
temen-temen lain juga sama) untuk serius
mempelajari Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang, ideologiku yang "biarpun Sastra Indonesia yang penting UGM”
berubah menjadi “BIARPUN DI UGM, YANG PENTING SASTRA INDONESIA”.
halo mas fahmi arif, saya zaki dari pertanian ugm 2012. mohon bimbingan nya untuk jadi blogger :) http://morelshop.blogspot.com/
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKeren!!!!!
BalasHapus