Kamis, 08 Desember 2011

Biarpun di UGM......


Aku lagi iseng-iseng buka file-file-ku yang lama.
Dan aku menemukan tulisanku waktu dulu masih semester 1 (sekarang semester 3). Waktu itu, waktu aku semester 1, di jurusanku ada acara ngadain lomba nulis buat anak-anak SMA se-Jogja. Lalu aku diminta sama temen untuk ngebuat semacam karangan (lebih tepatnya tulisan nggak jelas) yang isinya tentang jurusanku (Bahasa dan Sastra Indonesia). Yah semacam promosi buat anak -anak SMA biar termotivasi masuk jurusanku gitu.
Dan setelah membaca ulang tulisan itu, aku berpikir, "ANJRIT, tulisanku cacat banget!!"
Tapi kayaknya gak ada salahnya juga aku taroh di sini. hehehe..
Silakan yang mau nyacat..

******
Biarpun di UGM, Yang Penting Sastra Indonesia

Malam ini akan diumumkan hasil seleksi Ujian Masuk (UM) Universitas Gadjah Mada taun ajaran 2010/2011. Aku yang juga ikut UM tersebut jadi harap-harap cemas. Keterima nggak ya? Aku gelisah, resah, perutku nyeri. Eh bentar, ini nunggu pengumuman apa mau mens? Intinya gitu deh, aku deg-degan. Lagian juga nggak mungkin aku mens, aku kan cowok.

***

Di UM ini, 3 pilihan jurusan yang aku ambil yaitu: 1. Ilmu Komunikasi, 2. Sastra Inggris, 3. Sastra Indonesia. Alasan kenapa aku mengurutkan pilihanku seperti itu adalah:

1.      Pertama, aku milih Komunikasi karena aku bercita-cita jadi presenter, biar punya public speaking yang bagus.
2.      Kedua, Sastra Inggris, biar bisa ngomong yang keren kayak Cinta Laura.
3.      Ketiga, itu pilihan temenku. Kata temenku: “pilihan ketiga itu gradenya harus di bawah pilihan pertama dan kedua, jadi kamu isiin itu (Sastra Indonesia) aja”. Karena aku tipe cowok yang nurut sama temen (baca: nggak punya pendirian), maka pilihan ketiga aku isi Sastra Indonesia. Rasanya, hina banget ya Sastra Indonesia itu? Aku jadi ngebayangin, kalo ketiga pilihan tersebut berubah menjadi 3 cewek bersaudara yang tinggal serumah; si “Ilmu Komunikasi” pasti kerjaannya mandi air hangat dengan manja, si “Sastra Inggris” sukanya nonton film Korea, dan si “Sastra Indonesia” hobinya nangis di kamar mandi setelah disiksa sama “Ilmu Komunikasi” dan “Sastra Ingggris”.

Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika aku membuka situs resminya Penerimaan Mahasiswa Baru UGM, pmb.ugm.ac,id. Aku bener-bener deg-degan, tanganku gemetar, kaki juga, mataku jadi putih, lalu aku kesurupan, NGGAK LAH. Begitu kulihat hasilnya, tiba-tiba terjadi gempa yang sangat dahsyat, gunung meletus, manusia berterbangan bagai anai-anai. HUUAAAAA.... aku nggak bisa menerima kenyataan aku keterimanya di SASTRA INDONESIA. Dalam hati aku menjerit “MAMA, KENAPA SASTRA INDONESIA MA?? KENAPA?? KENAPA MAMA??”. Aku stress mendadak.

Masih dalam kondisi stress, aku baca bagian akhir pengumuman tersebut yang intinya tu gini: “kalo elo keterima di salah satu Program Studi terus elo nggak registrasi, maka elo kehilangan hak jadi mahasiswa UGM 3 taun ke depan, ampyuunn deh booo..”. Ini berarti kalo aku nggak ngambil Sastra Indonesia itu maka aku akan kehilangan hak untuk masuk ke UGM 3 taun selanjutnya. Mampus. Aku nyesel, nggak mikirin mateng-mateng sebelum ngisi 3 pilihan tersebut. Akhirnya, mau nggak mau aku masuk ke Sastra Indonesia.

***
Setelah melakukan registrasi dan tetek bengeknya, resmilah aku menjadi “Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada”. Apakah aku bangga? iya, karena dapet status ‘mahasiswa UGM’. Apakah aku minder? iya juga, karena Sastra Indonesia bukanlah pilihan utamaku. Kalo ada orang nanya “kuliah dimana mas?”, aku akan jawab dengan lantang “UGM DONKK!!”. Ditanya lagi “jurusan apa?”, “sastra indonesia” jawabku berbisik. Aku merasa Sastra Indonesia bukanlah jurusan yang keren. Tapi setidaknya, biarpun Sastra Indonesia, yang penting UGM.

Tiba saatnya kuliah perdana.

Di kelas kita yang pertama ini, aku mendapati beberapa manusia yang terasa “asing” di mataku. Ada yang rambutnya pirang, ada yang matanya sipit, ada yang kumisnya nyambung sama alis. Untuk yang terakhir, aku bercanda. Mereka ini, mereka yang keliatan asing di mataku, adalah orang-orang yang bukan berasal dari Indonesia. Mereka bule. Aku bertanya-tanya dalam dengkul hati, kenapa mereka ada di sini? Siapa mereka? Apakah mereka adalah anak hasil hubungan gelap TKI dengan majikannya? Atau, apakah mereka adalah orang Jawa yang keseringan maen layangan? Aku jadi penasaran.

Selesai kuliah, aku mencoba kenalan sama salah 2 cewek “asing” yang barusan ikut kuliah bareng. Aku ajak kenalan dan kemudian ngobrol-ngobrol bentar. Dari kenalan dan obrolan tersebut, ini hasilnya: 2 cewek itu bernama Yu Mi dan Yu Jin, mereka dari Korea Selatan, mereka adalah mahasiswi sebuah universitas yang ada di Korsel sana (Hankuk University), dan mereka datang ke Indonesia untuk BELAJAR BAHASA INDONESIA. Parah men, aku aja yang asli pribumi masuk ke Sastra Indonesia hanya gara-gara tidak beruntung. Tapi mereka, Yu Mi dan Yu Jin (dan bule-bule lain yang aku belum sempet kenalan), jauh-jauh merantau dari negaranya, naik ojek, datang ke Jogja, ke UGM, untuk BELAJAR BAHASA INDONESIA. Oh, aku terharu.

***
Waktu terus berjalan. Kadang terasa lambat kayak suster ngesot. Dan kadang terasa cepat seperti pocong (ya, pocong sebenernya nggak cepet-cepet amat jalannya. Tapi kalo disuruh balapan sama suster ngesot pasti menangan dia). Tak terasa satu semester sudah terlewatkan. Selama itu pula aku melihat betapa mahasiswa-mahasiswa ‘asing’ sangat bersemangat mempelajari Bahasa dan Sastra Indonesia. Jauh lebih bersemangat dari aku. Kenapa mereka tertarik mempelajari itu?

Sampai sini, aku mulai berpikir. Ternyata jurusan yang aku anggap nggak keren ini justru diminati oleh orang-orang dari luar negeri. Pikiranku menerawang jauh.

Apakah yang akan terjadi pada bangsa ini seandainya semua orang berpikiran sama denganku? Yang merasa minder untuk mempelajari bahasanya sendiri dan lebih merasa bangga jika mampu menguasai bahasa asing.

Pikiranku menerawang lebih jauh lagi. Mungkin yang akan terjadi:

Bangsa kita akan kehilangan jatidiri. Ya, kita akan kehilangan jatidiri karena bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Yang lebih ekstrim, mungkin di kemudian hari bangsa kita akan dijajah oleh Yu Mi dan Yu Jin.

Dari pemikiranku itu, aku jadi menyesal. Menyesal karena pernah menyesali masuk ke Sastra Indonesia. Aku menyesali apa yang aku sesalkan. Mampus, aku pusing sendiri. Intinya, sekarang aku justru bangga menjadi bagian dari Sastra Indonesia. Apalagi ketika kuliah dengan mahasiswa-mahasiswa asing, aku merasa keren. Muehehehe.

Terlepas dari bangga dan keren menjadi bagian dari keluarga Sastra Indonesia, telah tumbuh satu niat dalam diriku (dan aku yakin temen-temen lain juga sama) untuk serius mempelajari Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang, ideologiku yang "biarpun Sastra Indonesia yang penting UGM” berubah menjadi “BIARPUN DI UGM, YANG PENTING SASTRA INDONESIA”.

3 komentar:

  1. halo mas fahmi arif, saya zaki dari pertanian ugm 2012. mohon bimbingan nya untuk jadi blogger :) http://morelshop.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus