Di dunia ini
tak ada yang pasti kecuali perubahan.
Aku lupa mencomot kalimat itu dari mana dan dari siapa, tetapi yang jelas
kalimat itu ada di buku catatanku. Aku memang suka mencatat quote-quote dari
banyak orang. Bukan apa-apa, cuma buat gaya-gayaan saja, siapa tahu suatu saat
buku catatanku tertinggal entah di mana, kemudian ditemukan seorang wanita
cantik, dia pasti akan mengira pemilik buku itu (baca: aku) adalah seorang yang
sophisticated.
Hahaha.
Ehm.
Terlepas dari niatku yang murahan itu, apa yang kucatat terkadang berguna
juga. Seperti kali ini, ketika menemukan kalimat yang kukutip di atas itu,
serta merta aku berpikir panjang.
Perubahan.
Ya, sejauh mana diriku telah berubah?
Baik,
Untuk tahu sejauh mana diriku telah berubah, tentu aku perlu berkaca pada
masa lalu. Masa lalu adalah cermin paling jujur, meski kejujuran itu tidak
selalu berujung menyenangkan.
Bagi sebagian orang, masa lalu adalah episode kejayaan yang selalu
menawarkan kebanggaan untuk diceritakan. Sedang bagi sebagian lain, masa lalu
adalah aib yang lebih baik di-peti-es-kan. Namun, apapun masa lalu itu, ia
adalah babak drama yang telah dipentaskan, ia tidak seperti tulisan di Microsoft
Word yang bisa di-undo.
Aku tidak tahu apakah yang akan kuceritakan di sini adalah kebanggan atau
justru aib. Aku tidak begitu peduli. Aku sudah cukup puas diberi kemampuan akal
untuk melampiaskan unek-unek yang ada di pikiran.
Kubuka lagi tulisan-tulisanku terdahulu.
Aku termasuk orang yang percaya bahwa tulisan dapat mencerminkan karakter
seseorang. Maka dari itu, aku buka lagi catatan lamaku, aku baca dengan
saksama, dan aku simpulkan sendiri karakterku. Hasilnya: menggelikan.
Ya, menggelikan.
Perasaan yang keluar kira-kira sama dengan perasaan ketika aku membuka
album foto kecilku dan mendapati diriku sewaktu kanak-kanak adalah bocah yang
kurus item dekil, mata cekung, gigi gigis, dan ingusan. Meski keadaanku saat
ini dengan usia 21 tahun tidak jauh berbeda dengan masa kanak-kanak itu, tapi
tetap saja rasanya menggelikan melihat masa lalu diri sendiri dengan segala
kepolosannya.
Tentang tulisan, berikut aku kutip satu paragraf yang aku tulis kira-kira
tiga tahun lalu, sewaktu masih menjadi mahasiswa baru.
Semalem, aku baru aja ketemu sama penulis idolaku. Ya, siapa lagi
kalo bukan Scarlett Johansen (LHO?). Oke, bukan dia lah. Semalem aku ketemu
sama Raditya Dika. Tapi bukan ketemuan model orang-orang kencan sambil dinner gitu. Bukan. Aku ikutan sebuah
acara workshop yang ngedatengin si Raditya Dika. Tapi ada yang beda dari
keikutsertaanku dalam workshop tersebut. Beda gimana? Yak langsung aja..
bekicot..
Siapa yang tidak geli membaca tulisan semacam itu?
Entah apa yang ada di pikiranku dulu sewaktu menulis itu. Rasanya aku tidak
mau mengakui bahwa itu adalah tulisanku. Tapi, itulah masa lalu, itulah yang
benar-benar terjadi, dan itulah yang jelas tidak bisa aku ingkari. Seberapapun
aku mencoba mengelak, aku tetap kalah telak, karena masa lalu adalah bayangan yang
akan selalu menempel sampai kelak. #ngomongopoooo.
Lalu, bagaimana aku harus menyikapi masa lalu?
Di sini aku mulai berpikir.
Mungkin yang membuatku merasa geli membaca tulisan lawasku sendiri adalah
karena saat ini aku merasa telah berubah dari aku yang dulu. Jika
diingat-ingat lagi, dulu aku termasuk penggemar berat tulisan-tulisan Raditya
Dika. Boleh dikatakan secara berlebihan, aku adalah pasukan berani matinya
Dika. Maka dari itu, tulisan yang kubuat pun kelihatan sangat terpengaruh dari
apa yang kubaca.
Kini, seiring usiaku yang bertambah, kekagumanku akan tulisan-tulisan
Raditya Dika seolah menyusut, meski tidak sepenuhnya hilang. Aku mulai
menemukan idola-idola baru, dan sadar tidak sadar mulai mengikuti gaya dari
idola itu. Aku membaca karya Dan Brown, jadi tertarik menulis tentang
petualangan yang menegangkan dan super-kaya akan informasi. Membaca karya ES
Ito, jadi sensitif terhadap isu-isu sosial-politik. Membaca Ahmad Fuadi,
menjadi terinspirasi menulis sesuatu yang inspiratif. Membaca Seno Gumira
Ajidarma, membuatku kehilangan selera terhadap novel-novel teenlit. Dan
seterusnya, dan seterusnya.
Semakin aku menemukan kekaguman pada sosok-sosok baru, justru semakin
bingung. Ke arah mana aku akan menjadi?
Seorang kawan di kampus yang hobi menulis dan sudah beberapa kali
memenangkan lomba menulis bernama Habsari, pernah mengobrol tentang hal ini dan
dia berkata, “Kayak gitu emang wajar, Mi. Awalnya kita memang akan terpengaruh
idola kita. Tetapi semakin lama dan semakin banyak bacaan kita, nantinya kita
akan menemukan bentuk orisinilasitas kita sendiri.”
“Tapi ‘nantinya’ itu kapan?” Tanyaku.
“Sampai kamu mati,” jawabnya.
Aku cuma menanggapi dengan geleng-geleng, tapi dalam hati mengiyakan.
Bisa jadi yang dikatakan kawanku itu benar. Dan bisa jadi saat ini aku
tengah menjalani proses transformasi untuk menemukan “bentuk” paling tepat bagi
diriku sendiri. Apakah ini akan menjadi proses selamanya? Siapa yang tahu.
Aku jadi berpikir kembali. Dulu, untuk menulis, aku tak terlalu banyak berpikir.
Aku hanya menuangkan apa yang ada di kepala. Aku tidak peduli bahasa yang
digunakan, ejaan yang benar, atau apapun. Hanya menuangkan, tak perduli takaran.
Seperti anak kecil yang belajar menuangkan air ke dalam gelas. Maka, ketika
kini kutemukan tulisanku dulu yang panjang lebar tumpah kemana-mana, aku
menjadi tidak heran.
Sekarang, untuk menulis saja rasanya banyak sekali pertimbangan. Apakah
yang kutulis ini salah apakah benar. Apakah informasi yang kusampaikan akurat
atau meleset. Apakah kalimatku sudah efektif ataukah terlalu bertele-tele.
Apakah kosakata yang kupakai sudah sesuai ejaan yang tepat atau belum. Apakah
tulisanku akan dibaca orang lain atau tidak, dan kalau dibaca kira-kira akan
seperti apa tanggapan mereka. Dan, pertanyaan yang paling mengganggu: untuk apa
aku menulis?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu berkelindan setiap kali aku hendak
menulis. Aku seperti menjadi peragu. Pencemas. Penakut. Ujung-ujungnya aku
memilih lebih berhati-hati. Atau malah terlalu berhati-hati hingga untuk
sekadar melangkah saja perlu berpikir panjang. Sulit untuk menilai apakah itu
baik atau tidak. Di satu sisi, kehatian-hatian membuatku terhindar dari
kemungkinan kesalahan. Namun di sisi yang lain, aku menjadi kurang produktif.
Inilah yang membuatku lamaaaaa sekali tidak memposting catatan di blog
seperti ini. Postingan terakhir sebelum ini adalah satu tahun lalu.
Hmmm....
Perubahan.
Perubahan.
Dan semuanya, semua orang, berubah.
Sepenggal lirik lagu dari Keane melintas...
So little time
Try to understand that I’m
Try to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But, everybody’s changing and I don’t feel the same
Woeehhh.... kok hampir sama ya, Mas Fahmi?
BalasHapusJika tulisa tentang pertemuan dengan Radit dibilang memalukan, mendadak saya merasa lebih hina. Lalu apa tulisanku?? -_-
"Semakin aku menemukan kekaguman pada sosok-sosok baru, justru semakin bingung. Ke arah mana aku akan menjadi?"