Pernahkah kamu tengah malem
dikejar-kejar anjing? Kalo pernah, gimana perasaannya? Pasti ANJING banget kan?
Nah, midweek kemarin aku
ngalamin kejadian itu, tengah malem dikejar-kejar anjing. I mean it.
***
Rabu (15/2) tengah malem, aku
dan beberapa temen bersepeda keliling Jogja. Ya, belakangan ini aku emang lagi
doyan banget sama yang namanya maen sepeda tengah malem. Menikmati Jogja dini
hari. Enak aja rasanya ngeliat jalanan yang biasanya rame mobil sama motor jadi
sepiiiiiii banget. Aku paling seneng ngeliat jalanan kota yang sepi. Karena jalanan
jadi berasa milik nenek kita. Kita bisa bebas guling-gulingan di tengah jalan
tanpa takut kelindes Transjogja (karena gak ada Transjogja lewat jam 12 malem).
Dan ya, ngeliat jalanan yang sepi gitu, aku langsung aja tiduran sambil
guling-gulingan di tengah jalan. Serius. Asik loh.
Bukan, saya bukan korban perkosaan angkot |
Posisi favoritku: tidur
terlentang di tengah jalan terus ngeliat bulan di langit.
Sok mikir, sok sweet, sok imah |
Biasanya kalo udah gitu,
temen-temen bakalan pada mencemooh. Ada yang ngatain norak lah, katrok lah,
gila lah, bahkan ada yang bilang “Astaghfirullah”. Dan seperti biasa juga, aku
gak peduli. Mehehe.
Oke, balik ke cerita..
Kemarin itu aku sepedahan
bersama 5 temen bernama Dedi, Imam, Dian, Affan, dan Da’im. Malam itu kita
sepedahan dengan Bandara Adi Sutjipto sebagai tujuan akhirnya. Biasanya paling
cuman ke alun-alun selatan.
Sewaktu mulai masuk ke area
bandara Adi Sutjipto, posisiku berada di urutan kedua dari belakang. Di depan
ada Dedi, Imam, Affan, dan Da’im. Sementara Dian di belakangku. Jarak antara
aku dengan keempat pembalap di depan cukup jauh. Ada kali 30 meter. Dian di
belakangku juga cukup jauh.
Masuk ke Bandara sepertinya
akan mudah dan menyenangkan.
Yah, sepertinya.
Tanpa ada firasat apapun,
tiba-tiba dari depan terdengar lolongan “gukguk” yang sangat horor. Model suara
anjing penjaga malem ngeliat penjahat. Seketika itu pula keempat temen di
depanku memutar balik sepeda mereka, lalu berceceran menuju ke arahku. Di
belakang mereka terlihat dua gumpalan bulu berwarna coklat dan putih bergerak
cepat dan liar seperti mengejar keempat temenku itu. Oh, bukan ‘seperti’, tapi
dua gumpalan bulu itu ‘memang’ mengejar temen-temenku.
Lolongan gukguk-nya kenceng
banget.
Aku berhenti mengayuh sepeda.
Hanya sekejap saja keempat
temenku itu sudah mendekat ke tempatku berhenti. Semuanya memasang tampang
panik. Imam, yang berada paling depan di antara empat orang itu, dengan muka
yang sangat panik berteriak ke arahku “ANJING!! AWAS, ANJING!!!”
Aku bengong.
Aku gak ngerti apakah Imam
sedang MENGINFORMASIKAN bahwa ada “anjing” lalu menyuruhku untuk “awas”, atau
dia sedang MENGGERTAK supaya aku tidak menghalangi jalannya. Aku gak ngerti.
Tapi yang pasti saat itu pula aku ikutan muter balik, lalu ikutan memasang
tampang panik.
Baru aja aku sempurna memutar
sepeda, si Imam yang paling kenceng (dan paling panik) mendahuluiku sambil
terus teriak “ANJING AWAS ANJING!!!”
Suara gukguk-nya semakin
terasa dekat.
Aku langsung teringat teori
tentang cara selamat menghindari serangan binatang buas, yaitu: “Kamu tidak
perlu berlari lebih cepat dari binatang itu, kamu hanya perlu berlari lebih
cepat dari teman kamu.”
Dan Imam baru saja mempraktekan
teori itu.
Ini berarti: MAMPUS GUE!
Sekilas aku noleh ke
belakang, Dedi dan Da’im berhasil menghindari kejaran si gukguk dengan nyungsep
ke trotoar. Affan yang berada di tengah jalan masih dikejar-kejar satu anjing.
Anjing yang satunya, berlari ke arahku.
“AAAAAAAAAAAAARRRGGGHHHH!!!!”
aku jerit, lalu menggenjot pedal sepeda sekenceng mungkin. Secepat mungkin.
Apa daya, mengingat kekuatan
fisikku yang sangat lemah, aku gak yakin bisa selamat dari kejaran anjing ini.
Sempet kepikiran untuk berhenti saja, menjelaskan bahwa aku bukanlah maling
lalu nyerahin sepeda sebagai jaminan. Pulang jalan kaki gak papa deh, asal gak digigit.
Namun, aku sangat sadar bahwa anjing bukanlah makhluk yang bisa diajak
kompromi. Lagian, NGAPAIN JUGA NGASIH SEPEDA KE ANJING???
Raungan si anjing semakin
menjadi-jadi.
Oh Tuhan, tolong hentikan
anjing ini.
Aku gak mau mati digigit
anjing. Aku gak mau mati digigit anjing. Aku gak mau repot mandi pake pasir.
Mantra itu menjadi semacam Extra
Joss yang membuatku cukup kuat dan kencang mengayuh sepeda.
Setelah kejar-kejaran sampai
sekitar 100an meter, akhirnya dua anjing kunyuk itu berhenti mengejar.
Kami menang.
Kami semua ngos-ngosan.
Aku nangis bahagia.
“Hhh.., hhh.. hhhh..” hanya
suara napas tersengal-sengal yang keluar dari mulut kita ber-enam untuk
beberapa saat.
“Kampret itu anjing.” kata si
Imam kesal. Saking keselnya dia sampe lupa bahwa kampret dengan anjing
itu dua spesies yang berbeda.
“H-iyo, h-asu tenan.”
aku nambahin masih sambil ngos-ngosan.
Aku baru tau kemarin itu kalo
di bandara ternyata suka dijaga anjing kalo malem. Eh, gak tau juga sih apakah
itu emang anjing penjaga atau cuman anjing iseng. Atau, apa karena muka kami
yang kriminal sehingga menarik nafsu anjing-anjing itu buat ngejar? Gak tau
juga. Yang jelas anjing itu hampir membuat jantungku copot.
Setelah suasana mulai
kondusif, jantung kembali berdetak normal, kita semua lalu...., tertawa
rame-rame. Kita menertawakan kebodohan kita masing-masing.
“Kita kayak maling, sumpah.”
***
Sebelum pulang, kita sempet
foto-foto di depan jalan masuk bandara. Tapi hanya foto pake hape, jadi
hasilnya jelek (orangnya juga jelek). Tapi gak papa, ini aku mau pamer foto (jelek) kami:
TKP |
Bergaya setelah dikejar anjing |
Dari kiri ke kanan : Affan, Imam, Fahmi, dan penampakan |
Biasanya,
setelah capek sepedahan, kita kongkow-kongkow bentar di angkringan atau warung
burjo 24 jam, atau sesekali ke Mekdi. Pada ngobrol-ngobrol yang NGGAK
berkualitas. Tapi seru. Paling pewe kalo di warung pinggir jalan, gelar tiker
di trotoar, lanjut tiduran. Asik loh. :D
Kadang aku juga suka bawa-bawa netbook, biar kalo ada kejadian menarik (atau horor) bisa langsung aku tulis kayak gini. :D
Padahal lagi gak pake celana |
Oke, segitu dulu. Sampai ketemu di postingan selanjutnya.. :)