Sabtu, 14 Mei 2011

am I stupid?

Di Indonesia ada satu pepatah “jika guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari”.
Semua orang pasti tau artinya. Kalo ada yang belum tau, ini aku jelasin. Maksud dari pepatah tersebut adalah: seorang murid akan selalu mengembangkan/menambah apa yang diajarkan oleh gurunya. Misal, seorang guru mengajari muridnya untuk berjalan, mungkin si murid mungkin akan berlari. Guru mengajarkan melompat, si murid terbang. Guru mengajarkan berbicara, si murid nyanyi. Yang gitu-gitu deh pokoknya.
Yang ngeganjel di pikiranku, gimana kalo gurunya kencing kayang? Mungkin, si murid akan kencing sambil salto. Kebayang kalo ada yang kencing sambil salto, pasti keren banget.
Di sisi lain, seorang murid (mungkin) tidak akan ‘mengurangi’ apa yang diajarkan gurunya. Dari pepatah di atas kita dapat melihat bahwa murid memiliki kecenderungan untuk ‘mengembangkan/menambah’, bukan ‘mengurangi’. Dari ‘berdiri’ ke ‘berlari’, itu berarti menambah. Jadi nggak mungkin ada pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing tengkurep”.
***
Sewaktu SMP dan SMA, aku selalu merasa menjadi murid yang paling goblok di kelas. Dan belakangan aku sadar, ternyata itu bukan hanya perasaanku saja, tetapi orang lain juga menangkapku seperti itu. Mereka menilai aku goblok. Mengenaskan. Bahkan seorang guru, yang seharusnya membimbing dan menuntunku ke jalan yang lurus, malah semakin menenggelamkanku ke jurang kegoblokkan. Yah, nggak semua guru tentunya.
Tapi pernah ada satu guruku di SMA yang betul-betul mencederai harga diriku sebagai anak manusia (meskipun sebenernya aku nggak punya harga diri). Jadi gini ceritanya: di suatu kelas Kimia saat aku kelas 12, ketika ibu guru kimiaku yang bernama Bu Nanik Sumarni (tanpa sensor), sedang menjelaskan materi di depan kelas, dan murid-murid ada yang dengerin, ada yang ngobrol sendiri, ada yang jualan ayam. Untuk yang terakhir, aku bercanda. Aku sendiri saat itu cuman mangap merhatiin bu Nanik ngasih materi, berharap materi yang disampaikan bisa masuk ke otakku lewat mulut. Kenyataannya: aku malah ngeces. Sekedar info, Bu Nanik ini udah tua, udah nenek-nenek. Ini satu sisi yang ngebuat aku salut sama dia. Meski udah tua tapi dia masih sangat semangat mengajari kita tentang kimia. Satu sisi lain yang aku nggak suka, dia killer. Lebih horor lagi, dia hafal sama aku. Setelah selesai ngasih materi, beliau duduk di kursi guru. Matanya menyapu seisi kelas. Mencari murid-murid yang sekiranya nggak merhatiin dia. Bagai mercusuar, yang ketika sorotan lampunya mendeteksi gerakan mencurigakan bakalan langsung ditembak pake bedil. Bu Nanik juga seperti itu, ketika matanya menangkap satu siswa yang nggak merhatiin dia, bakalan langsung dilempar pake penghapus. Kadang kalo lagi kesel, meja pun dilempar.
“sampai di sini” kata bu Nanik. “sudah mudeng semua?”
Sekelas malah pada diem.
“fahmi sudah mudeng?” lanjut bu Nanik yang seketika itu juga membuat aku kejang-kejang.
Aku gelagapan. Kenapa tiba-tiba dia memanggilku?? Kenapa aku yang dipanggil?? Padahal masih banyak temen yang lebih pinter. Hmmm.. mungkin aku dianggap yang paling merhatiin, mungkin aku dianggap paling pinter, mungkin aku dianggap paling sexy (LHO?). Aku ge’er.
“uuhh.. oohhh” kataku kikuk. “iya bu, mudeng” padahal, nggak ngerti sama sekali.
“oke” kata bu Nanik dengan nada hendak menyelesaikan kelas. “karena fahmi aja sudah mudeng, ibu yakin kalian semua juga pasti mudeng. Jadi ibu rasa udah tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.”
Hening sejenak.
Aku bengong, apa maksudnya? Kog ngebawa-bawa namaku segala.
5 detik kemudian, 2-3 anak tertawa. Aku diem, kenapa tertawa?
10 detik kemudian, separo isi kelas ketawa. Aku tetep diem, ada apa sih?
15 detik kemudian, seisi kelas ketawa semua. Aku masih tetep diem, aku baru nyadar, 
KANCUUUUUTTTTTT!! AKU DIJADIIN PATOKAN PALING GOBLOK DI KELAS.
Ini bener-bener kacau. Parah ni guru. Jadi ternyata maksud dia bilang “kalo Fahmi aja mudeng, yang lain pasti juga mudeng” adalah menjadikan aku sebagai patokan paling goblok. Ya, maksudnya, ketika Fahmi (yang goblok) aja mudeng, pasti yang lain (yang lebih pinter) akan otomatis mudeng juga. Kampret. Aku gondok setengah mati. Kalo saja dia masih seumuranku, pasti udah aku gencet. Sayang dia udah berumur, yang kalo dicubit aja bakal koma tiga minggu. Akhirnya aku cuma bisa ngelus dada, eee malah horny sendiri (LHO??).
***
Sekarang, aku udah kuliah, dan udah nggak ada lagi pelajaran Kimia buatku. Dan sekarang aku berani mengatakan “aku tidak akan menjadi orang paling goblok di kelas Kimia.. huahahaha”. Cukup Bu Nanik aja.
Namun di balik itu semua, di balik anggapan goblok terhadap aku, aku merasakan manfaatnya sekarang. Anggapan tersebut aku jadikan batu pijakan untuk aku melangkah sampai saat ini. Aku menginjak kegoblokanku untuk meraih sesuatu yang lebih tinggi derajatnya; yaitu ‘tidak goblok’. Ketika aku mengingat ini, mengingat kejadian yang sudah 3 tahun terlewat, sampai aku tulisankan di sini, aku merasakan romantisme yang seakan terus mengatakan “Fahmi, kamu harus beranjak”. Ya, jangan sampai aku dijadikan ‘patokan paling goblok’ lagi. Dimanapun itu, nggak hanya di kelas kimia. Dan aku sadar, Bu Nanik Sumarni berperan dalam romantisme ini.
Hasilnya sekarang: LUAR BIASA. Aku udah nggak goblok-goblok banget. Tapi tetep aja masih ada unsur-unsur gobloknya. Nggak masalah, ‘pijakanku’ akan semakin tinggi.
***
Pesan moral: Cintailah produk dalam negeri. (Maaf nggak nyambung. Maklum, masih goblok. Huehehe).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar