Saya termasuk tipe cowok yang
takut hantu, karena itu saya sering menjadi bahan ejekan kawan-kawan saya. Saya
dikatakan penakut, ‘cemen’, tidak gentle, banci. Padahal, emang iya
(lho?).
Seperti yang terjadi beberapa
malam lalu, saya diledek habis-habisan ketika menolak ajakan beberapa kawan
untuk pergi wisata “rumah hantu”. Rumah hantu yang dimaksud ialah rumah hantu
ciptaan manusia yang dibuat untuk kepentingan komersial. Bukan rumah hantu
dalam arti senyatanya. Namun, sekalipun saya tahu pasti rumah hantu (dan
hantunya) itu buatan manusia, bagi saya tetap saja menyeramkan.
“Kamu gak berani???” seorang
kawan perempuan bernama Febri bertanya dengan ekspresi sumpah-lo? “Ih,
cowok kok takut hantu. Kagak gentle!”
“Fahmi meragukan cowoknya.” kawan
lain bernama Chicha menimpali.
“Jangan-jangan sebenarnya kamu
cewek ya, Mi?” Beta, kawan yang juga sedang bergabung tak mau ketinggalan.
Mendapat cemoohan dari lawan
jenis seperti itu, jelas saya tidak terima. Ke-cowok-an saya dilecehkan! Saya
langsung pasang sikap hendak menurunkan ritsleting celana, lalu bilang “MAU LIHAT
BUKTI AKU COWOK?!”
“Makasih, Mi,” Chicha menjawab
enteng, “lagi nggak pengin muntah.”
Saya diam tak menanggapi, tapi
dalam hati mengumpat: Setan!
***
Malam itu, saya bersama empat
kawan saya: Febri, Chicha, Beta, dan satu lagi Lisna a.k.a Boru tengah
menikmati jagung bakar di depan GOR UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) ketika
Febri mengusulkan wisata “rumah hantu”, dan saya menolaknya (yang kemudian
menjadi bahan olok-olokan). Saya menolak dengan alasan yang bagi saya cukup
logis: NGGAK BERANI. Namun ternyata alasan itu tidak cukup logis bagi
kawan-kawan saya yang notabene berbeda jenis kelamin dengan saya. Mereka
mengintimidasi saya untuk ikut.
“Mi, kalau kamu masih mau kita
anggap cowok, kamu harus ikut.” kata Febri dengan nada (+muka) menantang.
Tantangan Febri membuat saya
panas. Memang, perut saya tidak six-pack dan kaki saya tidak berbulu, tetapi jika sampai ada wanita meremehkan ke-cowok-an saya,
ini adalah penodaan gender. PENODAAN!
Akhirnya, saya bilang ke mereka,
“Oke, aku ikut!”
Dan tepuk tangan pun bergemuruh
(bohong).
Lima belas menit dari tempat
makan jagung bakar, kami tiba di “Rumah Hantu” yang berlokasi di daerah Babarsari,
Seturan, Yogyakarta. Yang menjadi identitas ke-hantu-an dari rumah hantu
tersebut ialah di bagian depan terdapat papan besar bergambar kuntilanak
disertai tulisan-tulisan bermotif Chiller (tulisannya apa saya lupa). Juga pagarnya yang total hitam, gelap. Ya, hitam
dan kegelapan selalu identik dengan setan.
Dan, yang menjadi penanda
komersial dari rumah hantu itu adalah tepat di “teras” berdiri sebuah stan
berketerangan “Loket Tiket”.
Ketika baru saja sampai dan
memarkir kendaraan persis di samping rumah hantu itu, kami disambut jeritan
sangat keras yang berasal dari dalam rumah hantu. Jeritan itu bervokal
laki-laki, begitu keras, begitu membahana. Dan sangat jelas merupakan jenis
jeritan orang sedang ketakutan.
“WWGHHUUAAAA... WHUAAAAA...
WGHHUUAAAA!!!” begitulah suara jeritan yang terdengar. Jeritan itu terdengar
tidak hanya satu kali, tapi berkali-kali.
“Itu suara cowok, Feb.” saya langsung
memasang tampang cemas.
“Iya, gila. Cowok aja sampai jerit gitu.” tanggapan Febri
membuat saya semakin horor.
Mampus.
Kami berlima saling bertukar pandang dalam hening. Saya
artikan ini sebagai situasi saling lempar pertanyaan batin ‘Gimana? Mau
lanjut?’
Tiba-tiba terdengar celetukan, “Kalau nggak berani
mending gak usah masuk.”
Kami celingukan mencari asal suara itu. Ternyata, itu
mas-mas tukang parkir. Mungkin, dia menangkap gelagat ketakutan kami.
Saya bertanya kepadanya, “Emang serem banget, Mas?”
“Banget," Masnya berkata mantap, "soalnya di dalam situ ada hantu yang asli.”
“Serius, Mas??”
“Tenanan, Mas, aku ra ngapusi (terjemah: beneran,
kakak, saya tidak bohong).” Si Mas-mas tukang parkir lebih terkesan
menakut-nakuti daripada memberi informasi. “Nanti kalau Mas masuk, terus ketemu
hantu yang nakut-nakutin, itu hantu palsu. Tapi kalau Mas ketemu hantu yang
diem aja, itu hantu asli.”
Ada hantu asli... mampus kuadrat.
“Tuh, ada setan asli. Ayok lah kita balik aja.” saya
mencoba menularkan ketakutan saya ke kawan-kawan agar mereka membatalkan niat
untuk masuk ke rumah hantu.
“Aduh, Mi,” sahut Febri, “nanggung banget kita sudah
sampai sini masak yah mau balik lagi. Ayok lah lanjut!”
“Iya, rugi banget kalau harus balik lagi.” Si Boru yang
dari tadi diam angkat bicara.
Kami berembug sesaat. Kemudian, sebagai pertimbangan,
kami memutuskan menemui pengunjung yang sudah masuk ke dalam. Kami ingin
melihat bagaimana kondisi, reaksi, dan ekspresi orang-orang yang sudah memasuki
‘kediaman’ para hantu itu.
Di rumah hantu itu hanya terdapat dua pintu: pintu masuk
dan pintu keluar. Di pintu masuk terlihat antrean cukup panjang dari pengunjung
yang hendak masuk. Sedangkan di pintu keluar, terlihat setiap beberapa detik, empat
sampai lima orang keluar dengan muka memerah, keringetan, ngos-ngosan, berjalan
terseok-seok, tetapi tertawa-tawa. Semua yang keluar pasti tertawa-tawa.
“Mereka hepi-hepi aja itu.” Beta berkomentar.
Saya terheran-heran. Apa yang mereka tertawakan?
Penasaran, kami ‘mewawancarai’ salah seorang pengunjung
laki-laki yang baru saja keluar. Sambil tertawa dan ngos-ngosan si pengunjung
ini bilang, “Gak menakutkan. Biasa saja. Cuma panas, sama pengap di dalem.”
Masih sambil mengatur napas, si pengunjung ini
melanjutkan, “Ini aku malah sempat foto sama pocongnya. Sebenarnya sih gak
boleh, foto-foto di dalam, tapi aku nekat aja.”
Dia lalu memamerkan fotonya berpose bersama pocong.
Pocong itu berwajah putih pucat dengan bagian sekitar
mata berwarna hitam sehingga membuatnya terkesan melotot, dan dari matanya
mengalir air mata darah. Di mulutnya terdapat bercak-bercak darah seperti habis
makan orang. Yang aneh, ekspresi wajahnya datar sedatar-datarnya.
“Pocongnya unyu,” ujar si pengunjung.
“Oh iya.” saya menanggapi sekenanya (dalam hati: UNYU?
EMANGNYA AFIKA??? INI SEREM, MONYET!!).
“Iya, unyu. Pocongnya ini diem aja sih.” lanjut si
pengunjung.
“Hah??” saya tercengang (dalam hati: ITU SETAN ASLI!!!).
Saya pasti bakal menjerit histeris jika bertemu pocong
ini.
Kami berlima berembug kembali. Febri dan Boru malah
semakin penasaran untuk masuk. Chicha dan Beta yang awalnya bersemangat
mendadak loyo (terutama setelah mendengar jeritan tadi), tetapi masih penasaran
untuk masuk. Sementara saya, saya paling bernafsu untuk kembali pulang. Namun,
apalah daya golongan minoritas. Saya yang tak memiliki mitra siapa-siapa ini,
harus mengikuti kemauan golongan mayoritas: masuk ke rumah hantu.
Tiket pun dibeli. Ini berarti, saya wajib menyiapkan pita
suara se-fit mungkin agar bisa menjerit sekencang-kencangnya. Dan, saya baru
sadar. Suara saya termasuk kategori ‘cempreng’ level parah. Kalaupun saya
menjerit, suara yang keluar pasti lebih seperti jeritan remaja putri menonton
konser Suju.
“Mi, nanti kamu depan ya?!” Febri memberi instruksi. Dia
lalu menjelaskan bahwa rumah hantu itu dalamnya berbentuk lorong sempit yang
hanya bisa dilalui satu orang. Karena itu, pengunjung yang hendak masuk harus
dibagi ke dalam suatu rombongan. Per-rombongan maksimal terdiri atas lima
orang. Lima orang tersebut harus berjalan berurutan dari depan ke belakang.
Jadi, kami berlima akan berjalan beriringan ibarat rangkaian gerbong kereta
api. Untuk kasus kami: ibarat gerbong kereta api ekonomi peninggalan Belanda,
lebih tepatnya.
Sekali lagi, minoritas (cowok sendiri) harus mengalah,
dan saya pun menjadi gerbong paling depan.
Kami mengantre di depan pintu masuk. Perjalanan yang
mendebarkan akan segera dimulai.
Di sini, saya bingung mempersiapkan reaksi ketakutan
seperti apa yang pantas saya ekspresikan. Apakah saya harus menjerit
selepas-lepasnya? Atau menahan jerit agar terlihat elegan? Hal ini menjadi
penting saya pikirkan karena ini menyangkut harga diri saya sebagai laki-laki
di mata perempuan. Walaupun, saya sadar betul sedari awal saya sudah tidak
punya harga diri di mata kawan-kawan saya ini. Tetapi, posisi sebagai lelaki
satu-satunya menuntut saya untuk selalu tampil paling berani dalam situasi
apapun.
Mampukah saya melakukannya?
Tunggu postingan selanjutnya...